16 February 2011

Jangan Tunggu Esok Hari Mengatakan Kepadanya


Oleh: Bidin

Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 th.

Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di California, saya bertemu seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yang menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya dan memukulnya.

Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu dan saling memukul satu sama lain di batas pagar itu.

Tapi itu tidaklah lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama. Saya menceritakan semua rahasia saya.

Dia sangat pendiam... dia hanya mendengarkan apa yang saya katakan.

Saya menganggap dia enak diajak bicara dan saya dapat berbicara kepadanya tentang apa saja.

Di sekolah, kami memiliki teman-teman yang berbeda tapi ketika kami pulang kerumah, kami selalu berbicara tentang apa yang terjadi di sekolah.

Suatu hari,saya bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya sukai tetapi telah menyakiti hati saya.... Dia menghibur saya dan mengatakan segalanya akan beres.

Dia memberikan kata-kata yang mendukung dan membantu saya untuk melupakannya.

Saya sangat bahagia dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya tahu bahwa sesungguhnya ada yang lainnya dari dirinya yang saya suka.

Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau itu adalah rasa persahabatan.

Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan tentu saja saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain.

Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri, sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yang menjadi pasangannya.

Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk mengatakannya.

Malam itu adalah kesempatan terbesar yang saya miliki tapi saya hanya duduk di sana dan memandangi bintang bersamanya dan bercakap-cakap tentang cita-cita kami. Saya melihat ke matanya dan mendengarkan ia bercerita tentang impiannya. Bagaimana dia ingin menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang kaya dan sukses. Yang dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya dan duduk dekat dengan dia.
 
Saya pulang ke rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan perasaan saya yang sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya tapi saya takut.

Saya membiarkan perasaan itu pergi dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa suatu hari saya akan mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya.

Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia selalu bersama-sama dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan pekerjaan di New York. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat yang sama saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi... saya menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri dan melihatnya pergi dengan pesawat.

Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa seperti ini adalah saat terakhir.
Saya pulang ke rumah malam itu dan menangis.

Saya merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yang ada di hati saya.

Saya memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris dan akhirnya menjadi seorang analis komputer.
Saya sangat bangga dengan prestasi saya. Suatu hari saya menerima undangan pernikahan.
Undangan itu darinya. Saya bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan.

Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan berikutnya. Itu adalah sebuah peristiwa besar.

Saya bertemu dengan pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya.

Sekali lagi saya merasa jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak mengacaukan apa yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi mereka.

Saya mencoba bersenang-senang malam itu, tapi sangat menyakitkan hati melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk bahagia menutupi air mata kesedihan yang ada di hati saya.

Saya meninggalkan New York merasa bahwa saya telah melakukan hal yang tepat. Sebelum saya berangkat... tiba-tiba dia muncul dan mengucapkan salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dengan saya.

Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di New York.

Kehidupan saya harus terus berjalan.

Tahun-tahun berlalu... kami saling menulis surat dan bercerita mengenai segala hal yang terjadi dan bagaimana dia merindukan untuk berbicara dengan saya.

Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah menulis 6 surat kepadanya..

Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah catatan kecil yang mengatakan : "Temui saya di pagar dimana kita biasa bercakap-cakap"

Saya pergi ke sana dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia melihatnya tetapi dia sedang patah hati dan bersedih. Kami berpelukan sampai kami kesulitan untuk bernafas.

Kemudian ia menceritakan kepada saya tentang perceraian dan mengapa dia tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tak dapat menangis lagi... Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita dan tertawa tentang apa yang telah saya lakukan mengisi waktu. Akan tetapi, saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya yang sesungguhnya kepadanya.

Hari-hari berikutnya... dia gembira dan melupakan semua masalah dan perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia kembali ke New York, saya menemuinya dan menangis. Saya benci melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia mendapat libur.

Saya tak dapat menunggu saat dia datang sehingga saya dapat bersamanya. Kami selalu bergembira ketika sedang bersama.

Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yang telah dijanjikan. Saya berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan dan saya melupakannya.

Suatu hari saya mendapat sebuah telepon dari New York. Pengacara mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dalam perjalanan ke airport. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan kejadian ini . Sekarang saya tahu... mengapa ia tidak muncul hari itu. Saya menangis semalaman.

Air mata kesedihan dan kepedihan. Bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi terhadap seseorang yang begitu baik seperti dia?

Saya mengumpulkan barang-barang saya dan pergi ke New York untuk pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semuanya diberikan kepada keluarganya dan mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu pada pesta pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi suaminya selalu tampak tidak bahagia.

Apapun yang dia kerjakan... tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiat dibacakan, satu-satunya yang diberikan kepada saya adalah sebuah diary.

Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena itu diberikan kepada saya. Saya tak dapat berpikir... Mengapa ini diberikan kepada saya?

Saya mengambilnya dan terbang kembali ke California.

Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat indah yang kami miliki bersama.

Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai menangis. Diary itu bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah hati.

Tapi dia takut untuk mengatakannya kepada saya.

Itulah sebabnya mengapa dia begitu diam dan mendengarkan segala perkataan saya. Diary itu menceritakan bagaimana dia ingin mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu bercerita ketika dia ke New York dan jatuh cinta dengan yang lain. Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu dan berdansa dengan saya di hari pernikahannya.

Dia berkata bahwa ia membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami.

Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan istrinya. Saat-saat terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yang saya tulis kepadanya.

Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya mencintainya"

Itu adalah hari dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam hatinya.

Jika engkau mencintai seseorang, "JANGAN TUNGGU ESOK HARI UNTUK MENGATAKAN KEPADANYA" karena esok hari itu... mungkin takkan pernah ada..

Semakin Banyak Memberi Semakin Banyak Menerima


Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua.

Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.

Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.

Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.

Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,"Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian".

Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.

Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.

Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,"untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali".

Ayahku menjawab, "aku ingin kau tetap merasa cantik". Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.

Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,"...kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku...kau tahu kenapa?" Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, "karena aku tak pernah meninggalkannya..."

Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.

Setelah Menunggu 30 Tahun

 
Bagi yang tidak percaya dengan keabadian cinta, sebaiknya mendengar cerita ini. Desember lalu, setelah menunggu selama 30 tahun, sepasang kekasih dari Korea Utara dan Vietnam akhirnya bersatu dalam pernikahan. Tiga dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, tapi mereka berhasil menjaga kesucian cinta mereka dari seberang lautan.

Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang.

Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas.

Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam. Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan. Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam.

Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka.

Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun. Surat terakhir diterimanya pada 1992.

Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan mereka kembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali.

Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal. Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya.

Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu. Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian.

Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang.

Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia. Beberapa bulan kemudian, ia mendapat jawaban yang ditunggunya selama 30 tahun: pemerintah Korea Utara mengizinkannya untuk menikahi Ri Young Hui.


September lalu, pasangan yang telah berusia 50 tahunan itu bertemu kembali. Mereka pun sepakat untuk tidak menunda-nunda lagi pernikahan yang sudah lama dinantikan itu. Desember lalu, di Hanoi, keduanya menikah dengan dihadiri 700 tamu yang datang dengan mata berkaca- kaca.

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana


Oleh: Sapardi Djoko Damono

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com