17 May 2012

Kepiting Terbesar Di Dunia

Kepiting Terbesar Di Dunia

 Kepiting raksasa bernama Claude ditangkap dilepas Pantai Tasmania, Australia, bulan lalu oleh seorang nelayan. Kepiting raksasa itu memiliki berat 6,8 kilogram (kg) dan lebar 38,1 centimeter (cm).

Namun kepiting langka ini tidak akan dikonsumsi di sebuah restoran. Kepiting itu lalu dijual kepada pihak akuarium di Inggris seharga 3.000 poundstering atau sekira Rp36 juta (Rp12.173 per pounsterling).

Setelah menempuh penerbangan selama 29 jam dari Australia, Claude akan dipamerkan di pusat Sea Life di Weymouth, Dorset, Inggris. Datangnya Claude menyebabkan dua kepiting lainnya yang menjadi penghuni akuarium itu, akan dipindahkan ke akuarium di Birmingham dan Berlin.

Claude adalah kepiting yang berukuran 100 kali lebih besar dari kepiting normal yang ada di pantai Inggris. Ternyata usia Claude saat ini masih remaja, sehingga kemungkinan besar tubuhnya masih bisa tumbuh dua kali lipat dari berat badannya sekarang. 
kepiting raksasa

"Ini makhluk yang mengesankan. Claude seharusnya butuh waktu beberapa hari untuk beradaptasi, tapi sekarang dia sedang menikmati makanannya dan tampaknya tidak ada yang lebih buruk dari tempat hidupnya yang baru ini di akuarium," ujar ahli biologi kelautan untuk Sea Life Rob Hicks, seperti dikutip Daily Mail, Selasa (1/5/2012).

Sementara menurut ahli kelautan Jemma Battrick, kepiting tidak makan dalam porsi banyak meskipun bisa menjadi spesies terbesar. Di akuarium ini, Claude hanya akan diberi makan udang dan cumi-cumi.

wafat setelah menghafal alquran

Seorang gadis asal Arab Saudi meninggal dunia, setelah berhasil menghafal 30 juz Alquran. Gadis 15 tahun itu itu meninggal sehari sebelum ia mendapatkan penghargaan dari sekolahnya karena berhasil menghafal seluruh isi Alquran.

Sebelum wafat, gadis yang berasal dari Ibukota Riyadh itu mengatakan kepada orang tuanya, bila hafalan 30 juz Alquran adalah mahkota yang ingin diberikan di atas kepala kedua orang tuanya.

Sejatinya, Rabu (9/5) kemarin, ia bakal mendapat penghargaan atas prestasinya tersebut. Tapi, Selasa sore ia dilarikan ke rumah sakit karena demam tinggi dan sekujur tubuhnya mati rasa, sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

"Saya pergi ke rumahnya untuk mengucapkan selamat. Aaya menemukan dia dan seluruh keluarga sedang gembira. Sebab ia memberitahu mereka tentang prestasinya menghafal 30 juz Alquran dengan air mata bercucuran di matanya," ungkap seorang kerabat gadis tersebut kepada surat kabar Sabq, sura kabar terbitan Saudi.

"(Tapi) ia kemudian dilarikan ke rumah sakit karena demam tinggi. Kepada dokter ia mengaku tubuhnya mati rasa dan kakinya tidak bisa digerakan. Mati rasa itu menjalar ke seluruh tubuhnya, sebelum akhirnya ia meregang nyawa," kisah kerabat tersebut.

Pihak rumah sakit mengaku, mereka tidak bisa menyelamatkan hidup gadis tersebut, karena mereka tidak bisa mendiagnosa penyakit yang menyerangnya tiba-tiba. Hingga kini, para dokter yang menangani gadis itu masih berusaha mencari penyebabnya kematian Hafidzah tersebut.

Sebelum meninggal, gadis tersebut sempat menitipkan pesan kepada teman-temannya. "Saya berhasil menghafal Alquran. Saya menangis karena bahagia untuk prestasi ini, dan saya ucapkan selamat kepada orang tua saya karena saya berjanji untuk membuat prestasi ini menjadi sebuah mahkota di kepala mereka. Ya Allah, jadikan prestasi ini di dalam hati saya dan jadikan prestasi ini senjata saya dalam hidup."

02 May 2012

Cerita menarik untuk para orangtua & calon orang tua


Tahun 2005 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.

Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya. "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapakali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.



Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.

Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku ..."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku untuk melakukan sesuatu".
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak …"
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" .

Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak ..."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian ia pun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ..."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".

Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan bahwa
kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ..."

Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan nya.
Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar, tetapi sebagai manusia orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahannya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ..."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku".

Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan
sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ..."

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum".
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku ..."

Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"

Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku ..."

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com