Showing posts with label Aceh. Show all posts
Showing posts with label Aceh. Show all posts

07 April 2013

Kisah Putroe Neng Dengan 100 Suami



Nian Nio Lian Khie begitulah nama aslinya, Seorang komandan perang wanita berpangkat Jenderal dari china budha, Seorang perempuan yang dikalahkan oleh pasukan meurah johan seorang ulama yang berasal dari kerajaan pereulak yang pada saat itu mereka berada di indra purba yang bercocok tanam di daerah maprai (sibreh sekarang) dan mereka membuka kebun lada dan merica pada saat itu setelah dikalahkan, jenderal Nian Nio Lian Khie memeluk islam dan namanya diberi gelar yaitu sebagai Putroe Neng

Kisah Putroe Neng
Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.

Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).

Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.

Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.

Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.


Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.

Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh."Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.
makam Putroe Neng
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.

Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.

Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?

Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. "Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab," kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama. Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. Program Visit Aceh 2011 yang digaungkan Pemerintah Aceh ternyata tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur.

12 November 2011

Bangsa Aceh Di Paraguay

Agaknya kegemaran ‘bangsa’ Aceh ‘ menaklukkan ‘ dunia sepertinya bukan isapanjempol belaka. Di Paraguay, misalnya, anda bisa melihat langsung suku Aceh ini beranak pinak di benua Amerika Latin itu.
Tentu saja fakta ini mengejutkan. Soalnya, selama ini tidak ada informasi tentang adanya komunitas ‘ bangsa ‘ Aceh, tinggal dan menetap berjarak ribuan mil dari tanoh Aceh.

Publik hanya tahu komunitas suku Aceh, berdiam di sejumlah negara bagian di Malaysia. Saking familiarnya, ada sejumlah daerah yang diberi nama sama seperti di Aceh.Misalnya Kampung Keudah dan lainnya. Kecuali itu, tidak sedikit orang Aceh yang lama sekali menjadi warga negara Malaysia, menjadi pejabat tinggi pula di negeri jiran itu.

Hubungan suku Aceh dan Malaysia ibarat sebuah keluarga. Benar saja, saat gempa dan tsunami melumat bumi Aceh, Pemerintah Malaysia, membuka “ pintu ” bagi warga Aceh tinggal menetap di Malaysia, walau hanyadengan “ cap jempol “, tanpa mengantongi identitas yang lazim.

Selain Malaysia, komunitas ‘bangsa’ Aceh banyak menetap dan menjadi warga negara Swedia. Di negeri ini, T. Hasan Di Tiro, tokoh yang paling dicari semasa rezim represif berkuasa, mengibarkan perlawanan hampir 30tahun dengan Pemerintah Indonesia.

Kini cucu pejuang nasional T. Chik Di Tiro itu mulai sepuh termakan usia. Ia tinggal di sebuah flat di sebuah kawasan yang dihuni oleh ‘bangsa’ Aceh di sana.

Bagaimana di Paraguay? Andai saja Gubernur Pemerintahan Aceh yang baru, Irwandi Yusuf tidak melawat ke negeri itu, maka tidak diketahui kalau di Paraguay ada suku Aceh yang berdomisili di negara itu.
Boleh dibilang, Senin (19/7) hari bersejarah. Pada hari itu, Gubernur Irwandi Yusuf bertemu dengan pimpinan suku Aceh Paraguay di KantorKementerian Luar Negeri Paraguay.

Rupanya, pertemuan itu diakui Dr. Augusto Fagel Pedrozo, ahli antropologi budaya yang juga Presiden Del Indi, telah lama diimpikannya saat bersama rekan lainnya melakukan penelitian mendalam tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay.

“ Selama ini kami telah berupaya untuk mempertemukan suku Aceh di Paraguay dengan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam ,” ungkap Augusto Fagel.

Untuk memujudkan pertemuan dibuat skenario. Langkah awal yang ditempuh menyampaikan niat itu kepada pihak Kementerian Luar Negeri Paraguay. Kemudian rencana itu disampaikan kepada Kepala Perwakilan Pemerintahan RI di Argentina.

Momen Pagelaran Seni Budaya Aceh di Asuncion, semakin mendekatkan impian Dr Augusto Figer cs. “ Kami menilai langkah untuk mempertemukan dua kelompok bersaudara sangat tepat seperti yang terjadi hari ini, ” kata Dr. Augusto dalam bahasa Spanyol yang didampingi Wakil Menlu ParaguayBidang Politik Bilateral, Ceferino Valdez Peraltadan Direktur Asia dan Afrika, Gustavo Lopez Bello.

Sementara itu Gubernur NAD, Irwandi Yusuf dalam acara pertemuan itu mengatakan, “dengan senang hati kami telah bertemu dengan pimpinan suku Aceh di Paraguay menyambut antusiasme tinggi bertemu saudaranya di negeri jauh. “ Tapi, Irwandi tadinya tidak mengetahui tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay. “Kami baru diberi tahu oleh pihak KBRI Argentina menjelang keberangkatan ke sini, ada suku Aceh di Paraguay, ” kata Irwandi Yusuf.

Gubernur di sela pertemuan tak lupa mengundang para pimpinan suku Aceh di Paraguay untuk datang ke Nanggroe Aceh Darussalam meninjau negeri asal, yang telah diting galkan dalam waktu yang sudah cukup lama.

Irwandi Yusuf berharap kepada tim peneliti yang telah melakukan pengkajian tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay untuk meneliti lebih jauh lagi tentang kesamaan-kesamaan budaya antara suku Aceh di sini dengan masyarakat Aceh di Sumatera.

“ Pertemuan hari ini kami tidak merasa asing.Seolah-olah berada di kampung sendiri. Saya perhatikan sosok tubuh suku Aceh di sini banyak kesamaan dengan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, ” sebut Gubernur Aceh ini.

Misalnya, dari segi dialeg bahasa, wanita suka memakai cincin dan aksesoris lainnya. Kalau boleh saya mengatakan pertemuan hari ini adalah pertemuan antara adik dan kakak yang sudah lama terpisah dari kampung halaman, katanya.

Gubernur NAD dalam pertemuan itu didampingiKadis Kebudayaan Provinsi NAD, Drs. Adnan Majid, Dirjen Deplu RI Amerika dan Eropa Eddy Hariadhi serta Kepala Perwakilan RI untuk Argentina dan Paraguay, Sunten Z.Manurung.

Juru bicara suku Aceh, Paraguay Maria Luisa Duarte, mengakui suku Aceh di Paraguay berasal dari Aceh, Sumatera. Soal kapan persisnya dan kenapa menetap di Paraguay, kata Maria akan dilakukan penelitian lebih jauhlagi. “ Pertemuan hari ini dengan pihak Pemerintah Nanggroe Aceh akan lebih terjalin hubungan yang lebih mendalam lagi ,” pintanya.

Setelah ini diharapkan ada tindaklanjut untuk lebih mempererat hubungan kedua komponen masyarakat Aceh ini. Maria menambahkan, “ informasi tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam 2004 lalu selalu menjadi ingatan kami walaupun kami belum melihat langsung bagaimana dahsyatnya musibah yangterjadi kepada saudara-saudara kami di Aceh, Sumatera. “

Sekretaris Tim Promosi Seni Budaya Aceh, Aidi Kamal melalui e-mailnya kepada Waspada dariAsuncion, Paraguay melaporkan, pimpinan suku Aceh di Paraguay yang hadir dalam pertemuan itu antara lain, Maria Luisa Duarte dan Alba Portillo Maximo dari Propinsi Central, Margarita Mbywangi, Antonio Pepagi dan Roberto Achepurangi dari Provinsi Canindeyu dan Ramona Takuarangi dari Provinsi Caazapa.

Aidi Kamal yang juga Staf Biro Keistimewaan Aceh Setda NAD menambahkan, suku Aceh di Paraguay sekarang berjumlah 1.300 orang yang tersebar di tiga provinsi di Paraguay, yaitu Provinsi Central, Provinsi Canindeyu dan Provinsi Caazapa. “ Mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani ,” kata Aidi Kamal.

Di akhir pertemuan, Gubernur NAD menyerahkan cenderamata berupa rencong kepada pimpinan suku Aceh di Paraguay yang diterima Maria Luisa Duarte. Sedangkan pimpinan suku Aceh menyerahkan cenderamata pada Gubernur NAD hasil kerajinan mereka berupa ikan yang terukir dari kayu.
waspada.co.id
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com