21 April 2012
10 Kota dengan Biaya Hidup Termahal di Dunia
ECA International telah mensurvei biaya hidup di 370 tempat (locations) di dunia, dengan mensurvei atas 125 jenis barang (consumer goods) dan jasa (services). Menurut hasil survei ECA International, terdapat 10 kota yang termahal biaya hidupnya di dunia. Inilah urutan biaya hidup termahal 10 kota di dunia pada tahun 2009 (dalam US dollar dan Rupiah / untuk kurs US $ 1 = Rp.10.000) :
1. Luanda, Angola
- Harga karcis bioskop : $ 16.85 (Rp.168.000).
- Makanan siap saji (fast food/quick lunch) : $ 57.92
–(Rp. 579.200).
- 1Kg beras : $ 5.65 (Rp.56.500).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.30 (Rp.13.000).
Pada tahun 2008 Luanda tetap pada posisi ranking 1.
2. Tokyo, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 19.16 (Rp.191.600).
- Makanan siap saji : $ 16.48 (Rp. 164.800).
- 1Kg beras : $ 8.45 (Rp.84.500).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.75 (Rp.17.500).
Pada tahun 2008 Tokyo menempati ranking 13.
3. Nagoya, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 17.46 (Rp.174.600).
- Makanan siap saji : $ 15.33 (Rp. 153.300).
- 1Kg beras : $ 8.80 (Rp.88.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.57 (Rp.15.700).
Pada tahun 2008 Nagoya menempati ranking 20.
4. Yokohama, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 18.48 (Rp.184.800).
- Makanan siap saji : $ 17.11 (Rp. 171.100).
- 1Kg beras : $ 6.28 (Rp.62.800).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.18 (Rp.11.800).
Pada tahun 2008 Yokohama menempati ranking 15.
5. Kobe, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 16.92 (Rp.169.200).
- Makanan siap saji : $ 14.96 (Rp. 149.600).
- 1Kg beras : $ 7.09 (Rp.70.900).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.38 (Rp.13.800).
Pada tahun 2008 Kobe menempati ranking 29.
6. Copenhagen, Denmark
- Harga karcis bioskop : $ 19.16 (Rp.191.600).
- Makanan siap saji : $ 16.48 (Rp. 164.800).
- 1Kg beras : $ 8.45 (Rp.84.500).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.75 (Rp.17.500).
Pada tahun 2008 Tokyo menempati ranking 13.
3. Nagoya, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 17.46 (Rp.174.600).
- Makanan siap saji : $ 15.33 (Rp. 153.300).
- 1Kg beras : $ 8.80 (Rp.88.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.57 (Rp.15.700).
Pada tahun 2008 Nagoya menempati ranking 20.
4. Yokohama, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 18.48 (Rp.184.800).
- Makanan siap saji : $ 17.11 (Rp. 171.100).
- 1Kg beras : $ 6.28 (Rp.62.800).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.18 (Rp.11.800).
Pada tahun 2008 Yokohama menempati ranking 15.
5. Kobe, Jepang
- Harga karcis bioskop : $ 16.92 (Rp.169.200).
- Makanan siap saji : $ 14.96 (Rp. 149.600).
- 1Kg beras : $ 7.09 (Rp.70.900).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.38 (Rp.13.800).
Pada tahun 2008 Kobe menempati ranking 29.
6. Copenhagen, Denmark
- Harga karcis bioskop : $ 13.31 (Rp.133.100).
- Makanan siap saji : $ 28.71 (Rp. 287.100).
- 1Kg beras : $ 4.24 (Rp.42.400).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 2.12 (Rp.21.200).
Pada tahun 2008 Copenhagen menempati ranking 4.
7. Oslo, Norwegia (Norway)
- Harga karcis bioskop : $ 12.84 (Rp.128.400).
- Makanan siap saji : $ 32.65 (Rp. 326.500).
- 1Kg beras : $ 4.40 (Rp.44.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 2.07 (Rp.20.700).
Pada tahun 2008 Oslo menempati ranking 2.
8. Genewa (Geneva), Swiss (Switzerland)
- Harga karcis bioskop : $ 14.07 (Rp.140.700).
- Makanan siap saji : $ 27.57 (Rp. 275.700).
- 1Kg beras : $ 3.48 (Rp.348.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.02 (Rp.10.200).
Pada tahun 2008 Genewa menempati ranking 6.
9. Zurich, Swiss
- Harga karcis bioskop : $ 14.11 (Rp.141.100).
- Makanan siap saji : $ 21.56 (Rp. 215.600).
- 1Kg beras : $ 2.79 (Rp.27.900).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 0.99 (Rp.9.900).
Pada tahun 2008 Zurich menempati ranking 8.
10. Basel, Swiss
- Harga karcis bioskop : $ 13.73 (Rp.137.300).
- Makanan siap saji : $ 21.15 (Rp. 211.500).
- 1Kg beras : $ 3.01 (Rp.30.100).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.03 (Rp.10.300).
Pada tahun 2008 Basel menempati ranking 9.
- Makanan siap saji : $ 28.71 (Rp. 287.100).
- 1Kg beras : $ 4.24 (Rp.42.400).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 2.12 (Rp.21.200).
Pada tahun 2008 Copenhagen menempati ranking 4.
7. Oslo, Norwegia (Norway)
- Harga karcis bioskop : $ 12.84 (Rp.128.400).
- Makanan siap saji : $ 32.65 (Rp. 326.500).
- 1Kg beras : $ 4.40 (Rp.44.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 2.07 (Rp.20.700).
Pada tahun 2008 Oslo menempati ranking 2.
8. Genewa (Geneva), Swiss (Switzerland)
- Harga karcis bioskop : $ 14.07 (Rp.140.700).
- Makanan siap saji : $ 27.57 (Rp. 275.700).
- 1Kg beras : $ 3.48 (Rp.348.000).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.02 (Rp.10.200).
Pada tahun 2008 Genewa menempati ranking 6.
9. Zurich, Swiss
- Harga karcis bioskop : $ 14.11 (Rp.141.100).
- Makanan siap saji : $ 21.56 (Rp. 215.600).
- 1Kg beras : $ 2.79 (Rp.27.900).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 0.99 (Rp.9.900).
Pada tahun 2008 Zurich menempati ranking 8.
10. Basel, Swiss
- Harga karcis bioskop : $ 13.73 (Rp.137.300).
- Makanan siap saji : $ 21.15 (Rp. 211.500).
- 1Kg beras : $ 3.01 (Rp.30.100).
- 1 kaleng “soft drink” : $ 1.03 (Rp.10.300).
Pada tahun 2008 Basel menempati ranking 9.
Aku Ingin Mama Kembali
Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa.
Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya.
Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27
Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian
ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit.
Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia
membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri papanya.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan ijeksi/suntikan kepada pasiennya.
Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da,
Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir.
Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab
apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun
tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup
untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta
sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Curhat Seorang Kakek Dari Panti Jompo
Suatu hari seorang sahabat situslakalaka pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa Ibu-Ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang kakek tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.
Lalu sang teman mencoba mendekati kakek itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang kakek akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si kakek menceritakan kisah hidupnya.
Si kakek memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. “Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.”
“Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan Biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.”
“Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak.
Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya.”
“Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak efisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.”
“Tapi apa yang saya dapatkan ? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.”
“Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu.
Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?”
“Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan?”
“Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.”
“Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat.
Saya kadang bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.”
“Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat – sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.”
Sejak itu sahabat situslakalaka selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang kakek. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang kakek berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita.
Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian ? Ingatlah bahwa tanpa Ayah dan Ibu, kita tidak akan ada di dunia dan menjadi seperti ini.
Jika kamu masih mempunyai orang tua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim-piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
Sumber
Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa Ibu-Ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang kakek tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.
Lalu sang teman mencoba mendekati kakek itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang kakek akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si kakek menceritakan kisah hidupnya.
Si kakek memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. “Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.”
“Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan Biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.”
“Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak.
Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya.”
“Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak efisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.”
“Tapi apa yang saya dapatkan ? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.”
“Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu.
Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?”
“Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan?”
“Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.”
“Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat.
Saya kadang bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.”
“Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat – sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.”
Sejak itu sahabat situslakalaka selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang kakek. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang kakek berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita.
Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian ? Ingatlah bahwa tanpa Ayah dan Ibu, kita tidak akan ada di dunia dan menjadi seperti ini.
Jika kamu masih mempunyai orang tua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim-piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
Sumber
Kisah Kristie Mills
Sejak masa kanak-kanak, Kristie Mills menderita cystic fibrosis, sebuah penyakit paru-paru kronis yang berakibat fatal. Meski divonis takkan berumur panjang, pada umur 21 Kristie memutuskan menikah dengan kekasihnya, Stuart Tancock, pada musim panas ini.
Kisah perjalanan Kristie ke gerbang pernikahan ditayangkan dalam acara “Breathless Bride: Dying to Live”, program dokumenter yang tayang di TLC beberapa malam lalu.
Kami mewawancara Kristie via email, karena dia tidak sanggup diwawancara via telepon. Kristie menjawab pertanyaan kami dengan jujur, spontan, dan emosional.
Pernikahan Kristie menggunakan "bunga palsu dan kue pernikahan yang tidak dibuat khusus.” Tempat pernikahannya pun dipilih yang kira-kira dapat dibatalkan sewaktu-waktu, jika Kristie merasa sangat sakit.
Ini bukan sekadar cerita tentang sebuah pernikahan. Ini cerita tentang pernikahan yang hampir tidak dapat terwujud.
Kristie, yang tinggal di Inggris, berkenalan dengan Stuart dua tahun lalu. Sejak saat itu, Stuart menjadi teman sekaligus motivatior untuk Kristie. Pergi ke tempat pernikahan dan meninggalkan rumah sakit dapat berakibat fatal, kata Kristie. Dia sudah diperkirakan akan meninggal dalam beberapa hari jika tidak menerima donor organ tepat waktu.
"Aku rasa mereka mewujudkan permintaan terakhirku," tulis Kristie dalam email. Malam itu dia kembali ke rumah sakit. "Para perawat mengatakan aku akan meninggal."
Karena membutuhkan paru-paru untuk bertahan hidup, tiga bulan sebelum menikah Kristie sudah mendaftar untuk transplantasi. Ajaibnya, delapan hari setelah menikah, dia mendapatkan donor yang cocok.
Operasi dilakukan selama empat jam dan pemulihan awal sangat menyakitkan. "Aku tidak pernah membayangkan rasanya akan sesakit itu. Aku bahkan berhalusinasi dan merasa sangat tersiksa setelah menjalani transplantasi."
Kristie tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai donor atau keluarga donor yang menolongnya, namun dia bercerita tentang perasaan yang campur aduk setelah menerima organ tersebut.
"Aku masih berduka [untuk keluarga pendonor] dan berharap lebih baik aku yang mati daripada membuat mereka melakukannya. Pendonorku memutuskan untuk menyumbangkan paru-parunya, dan keluarganya, walaupun sedih, akhirnya menyetujuinya. Itu merupakan perbuatan yang sangat mulia."
Kini Kristie tinggal bersama suaminya di Devon. Kristie menuliskan pengalamannya di blog, membantu mencarikan donor baru, dan meningkatkan kesadaran tentang penyakit cystic fibrosis dengan ceritanya tersebut.
Meski dengan kondisi kesehatan yang tak prima, Kristie mencoba menjadi istri yang baik. Pasangan itu menghabiskan waktu bersama ketika sedang tidak bekerja. Mereka memasak bersama, pergi nonton ke bioskop, bahkan panjat tebing. Kini Kristie sudah jauh lebih pulih.
Kristie juga realistis tentang kemungkinan mempunyai anak. "Aku tidak mempunyai harapan hidup yang normal, jadi aku tidak mau punya anak karena aku tahu aku pasti akan meninggalkannya sewaktu-waktu dan aku akan sangat sakit. Lalu Stuart harus mengurus anakku dan aku."
Kristie menyadari besarnya bahaya melahirkan setelah transplantasi — ditambah lagi kemungkinan menurunkan penyakit cystic fibrosis ke anaknya. Namun dia dan suaminya ingin menjadi orangtua asuh suatu saat. Pada saat ini, yang terpenting untuk mereka adalah pernikahannya.
"Aku menjalani pernikahan dengan sangat serius. Aku rasa tidak banyak orang yang mengalami seperti yang kami alami. Stuarts kadang mengatakan padaku betapa berat bebannya saat sedang bersamaku dan betapa dia tidak sanggup melihatku menderita dan meninggal.”
Pasutri Ini Insomnia Usai Menang Lotre Rp 2,1 Triliun
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Pensiunan dari Skotlandia memastikan diri sebagai pemenang EuroMillions, lotre terbesar di Eropa sebesar 161 juta pound atau sekitar Rp 2,1 triliun.
Dengan hadiah sebesar ini, sepasang suami istri ini masuk dalam daftar 500 orang terkaya di Inggris.
Colin (64), and Christine Weir (55), dari Ayrshire secara resmi menerima hadiah dalam bentuk cek besar dalam jumpa pers di Falkirk, Skotlandia.
Mereka menyatakan tidak bisa tidur sepanjang malam untuk memikirkan berbagai rencana setelah mendapatkan uang sebanyak itu.
"Kami hanya duduk. Kami benar-benar tidak dapat berbuat apapun dan tidak dapat tidur. Kami hanya ngobrol," kata Nyonya Weir.
Keduanya dikatakan sakit-sakitan dalam beberapa tahun terakhir dan tidak dapat bekerja.
Nyonya Weir menjadi perawat selama 37 tahun namun berhenti tiga tahun lalu karena kondisi kesehatannya.
Putri mereka Carly, 24 tahun, masih kuliah. Putra mereka Jamie, 22 tahun, bekerja di toko.
"Anak-anak punya peluang hidup bagus dan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan sekarang," kata Colin Weir.
Mereka merencanakan membeli rumah untuk anak-anak mereka dan membayar kursus mengemudi bagi keduanya.
Colin Weir adalah pendukung bola Liga Spanyol dan ia merencanakan untuk menonton Barcelona dengan karcis paling mahal di stadion Nou Camp.
Ia dan istrinya secara rutin membeli lotre termasuk EuroMillions yang dimulai tahun 2004.
Rekor lotre Eropa sebelumnya juga diraih oleh orang Inggris sejumlah 113 juta pound bulan Oktober lalu.
EuroMillions dapat diikuti oleh penduduk di Eropa, termasuk Prancis, Belgia dan Austria.(*)
Colin (64), and Christine Weir (55), dari Ayrshire secara resmi menerima hadiah dalam bentuk cek besar dalam jumpa pers di Falkirk, Skotlandia.
Mereka menyatakan tidak bisa tidur sepanjang malam untuk memikirkan berbagai rencana setelah mendapatkan uang sebanyak itu.
"Kami hanya duduk. Kami benar-benar tidak dapat berbuat apapun dan tidak dapat tidur. Kami hanya ngobrol," kata Nyonya Weir.
Keduanya dikatakan sakit-sakitan dalam beberapa tahun terakhir dan tidak dapat bekerja.
Nyonya Weir menjadi perawat selama 37 tahun namun berhenti tiga tahun lalu karena kondisi kesehatannya.
Putri mereka Carly, 24 tahun, masih kuliah. Putra mereka Jamie, 22 tahun, bekerja di toko.
"Anak-anak punya peluang hidup bagus dan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan sekarang," kata Colin Weir.
Mereka merencanakan membeli rumah untuk anak-anak mereka dan membayar kursus mengemudi bagi keduanya.
Colin Weir adalah pendukung bola Liga Spanyol dan ia merencanakan untuk menonton Barcelona dengan karcis paling mahal di stadion Nou Camp.
Ia dan istrinya secara rutin membeli lotre termasuk EuroMillions yang dimulai tahun 2004.
Rekor lotre Eropa sebelumnya juga diraih oleh orang Inggris sejumlah 113 juta pound bulan Oktober lalu.
EuroMillions dapat diikuti oleh penduduk di Eropa, termasuk Prancis, Belgia dan Austria.(*)
Seisi Desa Menang Lotre, hanya Satu Orang yang Tidak Beruntung
Sebuah desa kecil bernama Sodeto di Spanyol berhasil memenangi $ 950 juta (sekitar Rp 8,5 triliun) dalam sebuah lotre. Penduduk desa yang terdiri dari para petani dan pekerja bangunan itu menikmati bayaran $ 130.000 (sekitar Rp 1,1 miliar) per warga.
Tetapi di saat hampir seluruh Sodeto menikmati kekayaan baru itu, seorang warga justru tidak menerima apa-apa. Costis Mitsotakis, seorang sutradara film dari Yunani yang pindah ke desa itu, adalah satu-satunya warga desa Sodeto yang tidak membeli tiket lotre!
Meski demikian, Mitsotakis juga mendapat keuntungan secara tidak langsung. Dia sudah berulang kali gagal menjual sebidang tanah. Sehari setelah pengumuman lotre, seorang tetangga menelepon dan mengatakan akan membeli tanah itu. Keesokan harinya seorang tetangga lagi menelepon. Tapi Mr. Mitsotakis tak mau terlibat dalam perang tawar-menawar. "Ini desa kecil," ujarnya. "Saya tidak ingin ada perasaan buruk."
Lotre nasional Spanyol, yang dikenal juga sebagai "El Gordo" (yang gendut), pertama kali dilakukan pada tahun 1812 dan dilakukan dengan cara yang berbeda dengan lotre di Amerika. Contohnya, tahun ini ada 1.800 tiket juara satu, masing-masing punya nomor yang sama: 58268. Masing-masing tiket punya hadiah sekitar $ 520.000 (sekitar Rp 4,6 miliar). Tapi karena harga satu tiketnya $ 26 (sekitar Rp 236.000), satu tiket boleh dibagi oleh enam "peserta."
Para penduduk Sodeto kini dilaporkan terganggu oleh banyaknya orang yang berusaha menjual barang kepada mereka. Masalah lain juga muncul. Karena semua orang sudah kaya, siapa yang mau melayani sesama?
Seperti yang dikatakan Walikota Rosa Pons, "Beberapa wanita bilang mereka ingin pergi ke salon. Tapi tukang salon itu juga menang lotre. Dan tukang salon bilang, 'Saya tidak bekerja hari ini.'"
Masa Depanku Setelah Hancurnya Perusahaan Papa 2
…… Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.
30 April 2006
Hari ini adalah hari pertama setelah kepindahan kami ke rumah sederhana ini, tidak ada lagi mobil, tidak ada lagi kamar dengan AC. Mulai hari ini aku menjalani kehidupanku dengan status baru, tapi aku bertekad untuk tidak menyerah, satu bulan lagi Ujian Akhir Nasional dan aku mau berjuang untuk bisa melewati semua ini. Setidaknya aku bersyukur karena sudah tiga tahun yang lalu Mama membiasakan kami tidak manja dengan pekerjaan rumah tangga sehingga aku terbiasa mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Papa hanya terlihat selalu termenung setiap waktu, entah apa yang dia pikirkan, entah apa yang dia akan rencanakan. Aku tak begitu mengerti perasaannya, mungkin dia terpukul dam merasa kalah dengan berakhirnya bisnis yang diperjuangkan Papa mulai dari nol selama bertahun-tahun ini, yang aku perjuangkan sekarang sekolahku, masa depanku setelah aku memahami bahwa orang tuaku sudah tak lagi kuharapkan mampu menyokong pendidikanku nantinya. Untunglah untuk menyelesaikan pendidikan SMA-ku masih tersisa sedikit dana dari sisa penjualan asset-aset keluarga, tapi selepasnya aku dari SMA, aku masih bertekad untuk dapat menempuh pendidikan di bangku kuliah bagaimanapun caranya karena bagiku pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Sedangkan Mama berusaha untuk mencari penghasilan dengan menjahit baju. Dua mesin jahit milik Mama sengaja dipertahankan, selain harganya tidak seberapa, memang maksud Mama adalah dengan memanfaatkan kembali hobby-nya untuk menjahit baju. Mama menyulap ruang tamu kami yang kecil menjadi butik ala kadarnya, tidak hanya menjahit apabila ada pesanan dari teman-temannya tetapi Mama juga menjahit banyak baju untuk di-display di rumah. Hasilnya tidak seberapa tapi lumayan dengan itu masih bisa mendapat pemasukan untuk menghidupi kami sekeluarga dengan sekedarnya.
Untuk transportasiku ke sekolah, aku terpaksa naik bus. Lucu rasanya, dulu ketika aku bisa duduk di mobil sedan dengan AC tak pernah terbayangkan pagi-pagi harus berdiri di pinggir jalan menunggu bus kota menuju sekolahku, berdesak-desakan dengan penumpang lain di bus. Berbagi tempat duduk dengan orang yang tidak dikenal, bahkan seringkali tidak kebagian tempat duduk sehingga harus betah berdiri selama di perjalanan. Di bus semua jadi sama, entah kaya entah miskin, apapun statusnya dan sama sekali tidak penting menyandang status mantan anak orang kaya seperti aku.
Memang harta tidak membuat bahagia, tapi jatuh dalam keterpurukan ini membuat aku sedikit tertekan. Beberapa waktu ini aku merasa nyeri di dada seperti sesak napas, susah ketika ingin menarik napas yang dalam. Kata Mama mungkin karena aku terlalu sering di luar dengan kondisi cuaca yang tidak baik, angin yang kencang atau apalah. Entahlah aku tidak tahu, uang untuk periksa ke dokter kami tak punya, aku harus menahan pedih di hatiku menghadapi kenyataan ini. Sering aku menangis di malam hari, aku takut kalau-kalau aku tidak mempunyai kesempatan untuk meneruskan kuliah nantinya. Aku kuatir dengan masa depan keluarga, aku kuatir dengan kondisi Papa pasca usahanya yang bangkrut. Aku sedih karena Mama harus berjuang untuk menghidupi kami, sedangkan Rafi cukup beruntung, dia mendapat beasiswa untuk semester depan. Kelak kalau aku kuliah, aku juga harus mampu mendapat beasiswa tapi biaya masuk kuliah cukup besar nominalnya sekitar 5 juta lebih ketika Rafi masuk kuliah dulu. Jumlah itu mungkin tidak ada artinya bagi kami dulu, tapi sekarang uang darimana sebanyak itu.
27 Juni 2006
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Aku sengaja tak menampakkan diri di sekolah sama sekali, bukan karena aku takut tidak lulus tapi karena kebimbangan hatiku menghadapi rencana masa depanku nantinya.
“Ma, nanti berangkat ke sekolah naik apa?”, tanyaku pada Mama yang saat itu sedang berdandan
“Ya naik bus Nak, ngga apa-apa kog, Mama santai aja. Kamu kenapa belum siap-siap jam segini?”, tanya Mama padaku
“Aku malas Ma, aku di rumah aja. Mama ambil nilaiku sendiri aja ya Ma?”, pintaku pada Mama
“Yakin kamu ngga mau ikut?”, tanya Mama memastikan padaku
“Yakin Ma.”, jawabku singkat
“Ya sudah kalau begitu, Mama berangkat sendiri ya.”, pamit Mama padaku.
Hasil UAN-ku cukup lumayan, aku hampir tidak percaya mendapat nilai rata-rata 9 lebih dan peringkat 15 di antara sekitar 250 siswa kelas IPA. Hal ini membuat aku semangat untuk menyongsong SPMB minggu depan, ini harapanku untuk bisa kuliah dengan biaya yang murah di Universitas Negeri dan seperti cita-citaku aku menempatkan pilihan pertama di Pendidikan Dokter walau memang aku agak ragu apakah kami mampu membayar semua keperluan kuliahku nanti. Namun aku yakin masih ada Tuhan, kalau Ia berkendak pasti tidak ada mustahil.
5 Agustus 2006
Hari ini adalah pengumuman SPMB, hari yang aku tunggu-tunggu selama ini. Sebuah hari yang menjadi penentuan apakah cita-citaku menjadi dokter akan terwujud melalui pendidikan di universitas negeri, ya tentu saja, mana mungkin orang tuaku mampu menyekolahkan aku di universitas swasta. Selain karena nilai prestis yang tinggi apabila lolos melalui SPMB, juga karena melalui SPMB ini aku dapat memperoleh kesempatan untuk meneruskan ke perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang paling murah.
“Dit, nanti aku samperin ke rumah jam 9 malam yah”, pesan singkat Aji padaku melalui HP ku
“Oke, makasih ya Ji, kita nanti ke warnet mana?”, balasku pada AJi
“Warnet di dekat rumah Dina aja, dia juga mau barengan lihat pengumuman SPMB di warnet.”, balas Aji padaku
*******
Tiga jam kami habiskan mengobrol di rumah Dina sambil menunggu tengah malam menuju pengumuman SPBM online, kami tidak sabar kalau harus menunggu esok pagi melalui pengumuman di surat kabar. Jadi kami memutuskan untuk bersama-sama ke warnet untuk mengetahui hasil SPMB tepat tengah malam nanti. Aku benar-benar tidak sabar, hampir setiap menit aku memandangi jam tangan, bahkan pembicaraan kami jadi hambar karena sama-sama gugup menunggu hasil SPMB.
“Kalau aku tidak keterima SPMB, Mama sudah mendaftarkan aku di universitas swasta (menyebut nama kampus bergengsi di Jogja), kalau kalian bagaimana?”, tanya Dina kepada kami
“Aku masih berharap diterima di universitas dengan ikatan dinas (menyebut nama kampus kedinasan bergengsi Tangerang)”, jawab Aji
“Kalau kami gimana Dit?”, tanya Dina padaku
“Kalau universitas swasta sepertinya aku belum ada keinginan ke sana Din, jujur aku belum tahu bagaimana seandainya aku tidak lolos SPMB. Untuk menunggu dan mengulang SPMB tahun depan sepertinya aku pun enggan.”, jawabku padanya dengan hati yang tak karuan
******
Tampaknya warnet malam ini dipenuhi dengan peserta SPMB yang memang seperti kami sudah tidak sabar mengetahui hasil pengumuman, namun kami masih beruntung mendapatkan 2 PC tersisa. Aku dan Aji bergabung dalam satu PC sedangkan Dina mengakses satu PC seorang diri.
“Kamu duluan aja Ji”, pintaku pada Aji, jujur aku cukup nervous jadi mempersilakan Aji untuk mengakses terlebih dahulu.
Lalu setelah Aji memasukkan nomor registrasinya, maka yang tampil di monitor adalah dia lolos dalam pilihan pertama di Tekhnik Mesin salah satu universitas terbaik Indonesia di Kota Jogja.
“Wah, selamat ya Ji, kamu diterima di Tekhnik Mesin.”, kataku pada Aji dengan sedikit senyum getir, was-was dengan hasil tesku nantinya.
“Ok, sekarang giliran kamu Dit.”, kata Aji padaku sembari mengakses halaman utama web pengumuman SPMB itu.
“Selamat ya Dit, kamu jadi calon dokter sekarang.”, kata-kata itulah yang aku bayangkan diucapkan AJi kepadaku sesudah nampak hasil tes SPMB ku nanti.
Namun ternyata yang tampil adalah bahwa saya sama sekali TIDAK LOLOS dalam tes SPMB ini.
Damn, lengkap sudah, bisnis Papa hancur, kami hidup miskin dan sekarang kesempatanku untuk menjadi dokter melalui jalur SPMB, harapanku satu-satunya, hancur sudah.
Aku pulang dengan hati yang hancur, perasaan malu kepada teman-temanku. Apa jadinya jika semua temanku tahu seorang Dito, yang cukup berprestasi di kelas sama sekali tidak lolos jalur SPMB. Aku menyalahkan Tuhan yang bahkan tidak mengabulkan cita-citaku sama sekali. Sesampainya di rumah tak kuhiraukan sama sekali ketika Papa menanyai hasil SPMB-ku, aku segera mengurung diri di kamar, menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli kalau hari sudah terlarut malam, yang aku rasakan hanya pedih di hatiku, semua kejadian buruk yang menimpaku satu tahun belakangan ini.
6 Agustus 2006
Papa mendobrak paksa pintu kamarku ketika aku tak menjawab panggilannya sedari tadi pagi, mungkin dia berpikiran kalau-kalau aku menempuh jalan pintas karena kekecewaan teramat dalam yang aku rasakan semalam.
“Sudah pagi Dit, kamu makan dulu ya.”, bujuk Papa padaku sambil mengusap-usap kepalaku
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa suara, bagiku hidupku sudah hancur. Cita-citaku harus kukubur, aku tak punya daya untuk menunggu satu tahun lagi untuk mengulang SPMB tahun depan.
Lalu untuk apa aku selama ini berdoa kepada Tuhan, kalau satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-citaku bahkan ditutup-Nya. Aku tak akan lagi mau berdoa, bagiku hidupku harus kuperjuangkan sendiri sekarang. Untuk apa aku selalu berdoa jika yang kami peroleh hanya kemalangan, kesedihan, kekurangan dan kehancuran. Apa artinya perjuanganku selama ini, sekolah dengan prestasi yang cukup membanggakan, memprioritaskan waktu untuk mengikuti bimbel tapi kegagalan yang aku dapatkan. Dimanakah Tuhan, apakah belum puas Dia menekan hidupku.
30 April 2006
Hari ini adalah hari pertama setelah kepindahan kami ke rumah sederhana ini, tidak ada lagi mobil, tidak ada lagi kamar dengan AC. Mulai hari ini aku menjalani kehidupanku dengan status baru, tapi aku bertekad untuk tidak menyerah, satu bulan lagi Ujian Akhir Nasional dan aku mau berjuang untuk bisa melewati semua ini. Setidaknya aku bersyukur karena sudah tiga tahun yang lalu Mama membiasakan kami tidak manja dengan pekerjaan rumah tangga sehingga aku terbiasa mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Papa hanya terlihat selalu termenung setiap waktu, entah apa yang dia pikirkan, entah apa yang dia akan rencanakan. Aku tak begitu mengerti perasaannya, mungkin dia terpukul dam merasa kalah dengan berakhirnya bisnis yang diperjuangkan Papa mulai dari nol selama bertahun-tahun ini, yang aku perjuangkan sekarang sekolahku, masa depanku setelah aku memahami bahwa orang tuaku sudah tak lagi kuharapkan mampu menyokong pendidikanku nantinya. Untunglah untuk menyelesaikan pendidikan SMA-ku masih tersisa sedikit dana dari sisa penjualan asset-aset keluarga, tapi selepasnya aku dari SMA, aku masih bertekad untuk dapat menempuh pendidikan di bangku kuliah bagaimanapun caranya karena bagiku pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Sedangkan Mama berusaha untuk mencari penghasilan dengan menjahit baju. Dua mesin jahit milik Mama sengaja dipertahankan, selain harganya tidak seberapa, memang maksud Mama adalah dengan memanfaatkan kembali hobby-nya untuk menjahit baju. Mama menyulap ruang tamu kami yang kecil menjadi butik ala kadarnya, tidak hanya menjahit apabila ada pesanan dari teman-temannya tetapi Mama juga menjahit banyak baju untuk di-display di rumah. Hasilnya tidak seberapa tapi lumayan dengan itu masih bisa mendapat pemasukan untuk menghidupi kami sekeluarga dengan sekedarnya.
Untuk transportasiku ke sekolah, aku terpaksa naik bus. Lucu rasanya, dulu ketika aku bisa duduk di mobil sedan dengan AC tak pernah terbayangkan pagi-pagi harus berdiri di pinggir jalan menunggu bus kota menuju sekolahku, berdesak-desakan dengan penumpang lain di bus. Berbagi tempat duduk dengan orang yang tidak dikenal, bahkan seringkali tidak kebagian tempat duduk sehingga harus betah berdiri selama di perjalanan. Di bus semua jadi sama, entah kaya entah miskin, apapun statusnya dan sama sekali tidak penting menyandang status mantan anak orang kaya seperti aku.
Memang harta tidak membuat bahagia, tapi jatuh dalam keterpurukan ini membuat aku sedikit tertekan. Beberapa waktu ini aku merasa nyeri di dada seperti sesak napas, susah ketika ingin menarik napas yang dalam. Kata Mama mungkin karena aku terlalu sering di luar dengan kondisi cuaca yang tidak baik, angin yang kencang atau apalah. Entahlah aku tidak tahu, uang untuk periksa ke dokter kami tak punya, aku harus menahan pedih di hatiku menghadapi kenyataan ini. Sering aku menangis di malam hari, aku takut kalau-kalau aku tidak mempunyai kesempatan untuk meneruskan kuliah nantinya. Aku kuatir dengan masa depan keluarga, aku kuatir dengan kondisi Papa pasca usahanya yang bangkrut. Aku sedih karena Mama harus berjuang untuk menghidupi kami, sedangkan Rafi cukup beruntung, dia mendapat beasiswa untuk semester depan. Kelak kalau aku kuliah, aku juga harus mampu mendapat beasiswa tapi biaya masuk kuliah cukup besar nominalnya sekitar 5 juta lebih ketika Rafi masuk kuliah dulu. Jumlah itu mungkin tidak ada artinya bagi kami dulu, tapi sekarang uang darimana sebanyak itu.
27 Juni 2006
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Aku sengaja tak menampakkan diri di sekolah sama sekali, bukan karena aku takut tidak lulus tapi karena kebimbangan hatiku menghadapi rencana masa depanku nantinya.
“Ma, nanti berangkat ke sekolah naik apa?”, tanyaku pada Mama yang saat itu sedang berdandan
“Ya naik bus Nak, ngga apa-apa kog, Mama santai aja. Kamu kenapa belum siap-siap jam segini?”, tanya Mama padaku
“Aku malas Ma, aku di rumah aja. Mama ambil nilaiku sendiri aja ya Ma?”, pintaku pada Mama
“Yakin kamu ngga mau ikut?”, tanya Mama memastikan padaku
“Yakin Ma.”, jawabku singkat
“Ya sudah kalau begitu, Mama berangkat sendiri ya.”, pamit Mama padaku.
Hasil UAN-ku cukup lumayan, aku hampir tidak percaya mendapat nilai rata-rata 9 lebih dan peringkat 15 di antara sekitar 250 siswa kelas IPA. Hal ini membuat aku semangat untuk menyongsong SPMB minggu depan, ini harapanku untuk bisa kuliah dengan biaya yang murah di Universitas Negeri dan seperti cita-citaku aku menempatkan pilihan pertama di Pendidikan Dokter walau memang aku agak ragu apakah kami mampu membayar semua keperluan kuliahku nanti. Namun aku yakin masih ada Tuhan, kalau Ia berkendak pasti tidak ada mustahil.
5 Agustus 2006
Hari ini adalah pengumuman SPMB, hari yang aku tunggu-tunggu selama ini. Sebuah hari yang menjadi penentuan apakah cita-citaku menjadi dokter akan terwujud melalui pendidikan di universitas negeri, ya tentu saja, mana mungkin orang tuaku mampu menyekolahkan aku di universitas swasta. Selain karena nilai prestis yang tinggi apabila lolos melalui SPMB, juga karena melalui SPMB ini aku dapat memperoleh kesempatan untuk meneruskan ke perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang paling murah.
“Dit, nanti aku samperin ke rumah jam 9 malam yah”, pesan singkat Aji padaku melalui HP ku
“Oke, makasih ya Ji, kita nanti ke warnet mana?”, balasku pada AJi
“Warnet di dekat rumah Dina aja, dia juga mau barengan lihat pengumuman SPMB di warnet.”, balas Aji padaku
*******
Tiga jam kami habiskan mengobrol di rumah Dina sambil menunggu tengah malam menuju pengumuman SPBM online, kami tidak sabar kalau harus menunggu esok pagi melalui pengumuman di surat kabar. Jadi kami memutuskan untuk bersama-sama ke warnet untuk mengetahui hasil SPMB tepat tengah malam nanti. Aku benar-benar tidak sabar, hampir setiap menit aku memandangi jam tangan, bahkan pembicaraan kami jadi hambar karena sama-sama gugup menunggu hasil SPMB.
“Kalau aku tidak keterima SPMB, Mama sudah mendaftarkan aku di universitas swasta (menyebut nama kampus bergengsi di Jogja), kalau kalian bagaimana?”, tanya Dina kepada kami
“Aku masih berharap diterima di universitas dengan ikatan dinas (menyebut nama kampus kedinasan bergengsi Tangerang)”, jawab Aji
“Kalau kami gimana Dit?”, tanya Dina padaku
“Kalau universitas swasta sepertinya aku belum ada keinginan ke sana Din, jujur aku belum tahu bagaimana seandainya aku tidak lolos SPMB. Untuk menunggu dan mengulang SPMB tahun depan sepertinya aku pun enggan.”, jawabku padanya dengan hati yang tak karuan
******
Tampaknya warnet malam ini dipenuhi dengan peserta SPMB yang memang seperti kami sudah tidak sabar mengetahui hasil pengumuman, namun kami masih beruntung mendapatkan 2 PC tersisa. Aku dan Aji bergabung dalam satu PC sedangkan Dina mengakses satu PC seorang diri.
“Kamu duluan aja Ji”, pintaku pada Aji, jujur aku cukup nervous jadi mempersilakan Aji untuk mengakses terlebih dahulu.
Lalu setelah Aji memasukkan nomor registrasinya, maka yang tampil di monitor adalah dia lolos dalam pilihan pertama di Tekhnik Mesin salah satu universitas terbaik Indonesia di Kota Jogja.
“Wah, selamat ya Ji, kamu diterima di Tekhnik Mesin.”, kataku pada Aji dengan sedikit senyum getir, was-was dengan hasil tesku nantinya.
“Ok, sekarang giliran kamu Dit.”, kata Aji padaku sembari mengakses halaman utama web pengumuman SPMB itu.
“Selamat ya Dit, kamu jadi calon dokter sekarang.”, kata-kata itulah yang aku bayangkan diucapkan AJi kepadaku sesudah nampak hasil tes SPMB ku nanti.
Namun ternyata yang tampil adalah bahwa saya sama sekali TIDAK LOLOS dalam tes SPMB ini.
Damn, lengkap sudah, bisnis Papa hancur, kami hidup miskin dan sekarang kesempatanku untuk menjadi dokter melalui jalur SPMB, harapanku satu-satunya, hancur sudah.
Aku pulang dengan hati yang hancur, perasaan malu kepada teman-temanku. Apa jadinya jika semua temanku tahu seorang Dito, yang cukup berprestasi di kelas sama sekali tidak lolos jalur SPMB. Aku menyalahkan Tuhan yang bahkan tidak mengabulkan cita-citaku sama sekali. Sesampainya di rumah tak kuhiraukan sama sekali ketika Papa menanyai hasil SPMB-ku, aku segera mengurung diri di kamar, menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli kalau hari sudah terlarut malam, yang aku rasakan hanya pedih di hatiku, semua kejadian buruk yang menimpaku satu tahun belakangan ini.
6 Agustus 2006
Papa mendobrak paksa pintu kamarku ketika aku tak menjawab panggilannya sedari tadi pagi, mungkin dia berpikiran kalau-kalau aku menempuh jalan pintas karena kekecewaan teramat dalam yang aku rasakan semalam.
“Sudah pagi Dit, kamu makan dulu ya.”, bujuk Papa padaku sambil mengusap-usap kepalaku
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa suara, bagiku hidupku sudah hancur. Cita-citaku harus kukubur, aku tak punya daya untuk menunggu satu tahun lagi untuk mengulang SPMB tahun depan.
Lalu untuk apa aku selama ini berdoa kepada Tuhan, kalau satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-citaku bahkan ditutup-Nya. Aku tak akan lagi mau berdoa, bagiku hidupku harus kuperjuangkan sendiri sekarang. Untuk apa aku selalu berdoa jika yang kami peroleh hanya kemalangan, kesedihan, kekurangan dan kehancuran. Apa artinya perjuanganku selama ini, sekolah dengan prestasi yang cukup membanggakan, memprioritaskan waktu untuk mengikuti bimbel tapi kegagalan yang aku dapatkan. Dimanakah Tuhan, apakah belum puas Dia menekan hidupku.
Masa Depanku Setelah Hancurnya Perusahaan Papa 1
15 Agustus 2005
“Mah, aku berangkat sekolah yah”, pamitku pada Mama sembari menerima beberapa lembar uang ratusan ribu darinya.
“Siang nanti ada jadwal praktikum kan? Jas lab-nya udah dibawa?,” tanya Mama memastikan padaku
“Udah kog”, jawabku singkat setelah aku menggenggam kunci mobilku.
AD4 1 TO adalah plat nomor polisi mobil Jazz warna biru yang dihadiahkan Papa kepadaku saat aku berulang tahun yang ke-16. Aku terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, kakak laki-lakiku, Rafi, saat ini masih meneruskan kuliahnya di Universitas Negeri di kota ini pada program studi paling bergengsi di fakultas ilmu sosial dan politik. Sedangkan aku sendiri saat ini masih duduk di bangku SMA kelas XII Ipa 1 SMA Negeri paling favorit di kotaku, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Walau aku bukanlah siswa paling cerdas di kelas, tapi setidaknya dari sejak kecil aku sering memperoleh peringkat di kelas. Dan keberhasilanku masuk ke sekolah ini bukanlah hasil dari “amplop” orang tuaku, tapi karena anugerah kecerdasan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Pagi ini seperti biasa aku mengendari mobil sedanku menuju sekolah, memang agak sedikit kotor karena kemarin sore sepulang dari les di sebuah bimbingan belajar cuaca hujan. Sedangkan pagi tadi aku belum sempat untuk mencucinya, memang kami berasal dari keluarga yang berada tapi semenjak masuk SMA Mama memutuskan untuk berhenti menggunakan jasa pembantu dan sopir. Selain untuk membuat kami mandiri dengan kepentingan kami sendiri, saat itu karena sopir Papa meminta istirahat karena usianya yang sudah renta dan sakit-sakitan, sedangkan Mbok Parmi, pembantu sekaligus perawatku dari kecil meninggal dunia juga karena factor usia.
“Sekarang kan sudah SMA, sudah besar, ngga perlu pake pembantu lagi ya.”, begitu kata Mama dua tahun yang lalu.
Walau membutuhkan sedikit penyesuaian namun aku bisa membiasakan diri mengerjakan pekerjaan rumah tanggaku, teman-temanku sering tidak percaya kalau aku mencuci baju sendiri, menyetrika bajuku, membereskan kamar, mengepel lantai kamarku, bahkan membersihkan toilet di kamarku.
“Selamat Pagi Anak-anak, seperti yang sudah Ibu sampaikan kemarin bahwa hari ini sekolah akan mengadakan psikotes khusus untuk siswa kelas XII. Fungsi daripada psikotes ini adalah salah satunya supaya dapat membantu kalian memutuskan program study apa yang sebaiknya kalian ambil di perguruan tinggi nanti setelah kalian lulus dari sekolah ini.”, begitulah prakata dari Ibu Endang, Wali Kelas kami sebelum dimulainya psikotes hari ini.
22 September 2005
“Hasil psikotesmu gimana Dit?”, tanya Aji kepadaku
“Disarankan masuk ke Pendidikan Dokter, Ji”, jawabku sembari menunjukkan lembaran hasil psikotes kepadanya
“Wah tepat seperti cita-cita kamu ya.”, sambut Aji
“Doakan aja Ji, nanti kalo aku jadi dokter kamu boleh periksa gratis di tempatku, hehee.”, candaku pada Aji.
“Dit, malam nanti kita ngumpul di rumah Nisa, kita mau bahas tugas kelompok Biologi, semalam Nisa dan Dyra udah kabarin aku.”, kata Aji kepadaku
“Boleh ngga apa-apa, aku pulang les jam 4 sore kog Ji, tapi kamu nanti nyamperin ke rumah ya Ji, aku ngga ada kendaraan.”, pintaku pada Aji
“Emang mobil kamu kemana Dit, diservis yah?”, tanya Aji
“Iya Ji, baru diservis.”, jawabku singkat
Sebenarnya aku tidak berniat membohongi Aji, tapi aku sendiri juga tidak yakin dikemanakan mobilku oleh Papa. Ini sudah ketiga kalinya Papa meminjam mobilku, biasanya hanya sehari dua hari, tapi ini sudah lebih dari empat hari. Memang sih Papa memberikan kompensasi uang transport yang lebih banyak karena aku harus naik taksi ke sekolah, tapi aku jadi curiga. Papa hanya bilang kalau mobilku dipakai untuk keperluan pekerjaan.
24 November 2005
“Mah, udah tiga bulan SPP ku belum dibayar?”, tanyaku pada Mama
“Iya, nanti Mama bilang ke Papa ya, ini sekarang kamu sarapan dulu.”, jawab mama
“Tapi awal bulan depan aku sudah UAS, Mah, harus sudah dilunasi tunggakan SPP-ku ya?,” pintaku pada Mama.
Memang aku sering malas untuk mengingatkan uang SPP pada orang tuaku, sering kali aku membayar SPP setiap dua bulan sekali karena malas membayar bukan karena tidak punya uang. Tapi kali ini aku semakin merasa aneh dengan keadaan di rumah.
15 Desember 2005
Hari ini di sekolah tidak ada KBM, hanya ada remedial bagi siswa yang disarankan memperbaiki nilainya pasca UAS. Jadi aku memutuskan untuk mampir ke pabrik garment milik Papa, sudah lama aku tidak mampir ke sana apalagi dengan kesibukanku setiap hari harus les dan praktikum setelah jam sekolah usai.
“Siang Mas Dito.”, sapa Pak Joko kepadaku
“Siang Pak, gimana kabarnya? Lama ngga pernah ketemu ya?”, jawabku basa-basi kepada Pak Joko
“Baik mas, saya sehat, Mas Dito mau cari Papa yah, ada kog di kantor, langsung masuk aja Mas”, kata Pak Joko
“Iya Pak, makasih ya Pak.”, jawabku singkat pada Pak Joko
Sesaat sebelum aku masuk ke ruangan Papa, aku memutuskan untuk iseng masuk ke pabrik. Aktifitas pabrik cukup sepi, tidak ada aktifitas operasional berarti, hanya terlihat beberapa orang yang sedang membereskan tumpukan kain.
Aku jadi bingung, kenapa pabrik bisa sepi seperti ini. Lalu aku segera mencari Papa untuk menanyakan kondisi pabrik.
“Kita memang sengaja menurunkan produktivitas Dit, menurunnya permintaan pasar dan naiknya harga bahan baku membuat Papa memutuskan untuk mengurangi produksi karena memang stock bahan jadi kita masih cukup banyak.”, jabar Papa kepadaku.
15 Maret 2006
“Nak, malam nanti kamu ada jadwal belajar kelompok ngga? Ada yang ingin Papa dan Mama sampaikan kepada kamu?”, tanya Mama padaku saat aku hampir selesai sarapan
“Engga Ma, aku ngga ada jadwal malam ini, emang mau ngomongin apa Ma?”, tanyaku
“Ya sudah, nanti malam saja kita bicarakan ya.”, jawab Mama sambil membereskan piringku
“Iya Ma, Dito sekolah dulu ya.”, pamitku pada Mama sembari mencium tangannya
“Belakangan kalian mungkin menaruh curiga dengan kondisi keuangan keluarga kita yang kurang stabil. Usaha Papa memang sedang tidak lancar belakangan ini, sedikit pemasukan yang ada dengan beberapa kewajiban jangka pendek yang harus tetap dipenuhi. Belakangan Papa sudah tidak mampu lagi menutup kewajiban jangka pendek dari Bank yang harus segera dilunasi, dan dengan berat hati kita harus menerima keputusan pihak Bank yang akan menyita semua asset usaha Papa. Sedangkan rumah ini akan Papa jual juga untuk menutup kewajiban hutang Papa kepada supplier dan memberikan pesangon kepada pegawai-pegawai Papa, dan dengan berat hati Papa minta dengan sangat kalian bisa merelakan mobil kalian untuk Papa jual supaya kita bisa membeli rumah sederhana untuk kita melanjutkan hidup.”, begitu kata Papa dengan mata berkaca-kaca.
Seperti disambar petir rasanya, berdiri bulu romaku mendengar perkataan Papa. Usaha Papa berakhir, mobilku bahkan akan dijualnya, “Lalu bagaimana dengan kuliah Dito, Pah nantinya? Tahun ini kan Dito akan lulus SMA?”, tanyaku dengan nada keras pada Papa.
“Papa minta maaf Dito, Papa tidak pernah berpikir untuk menginvestasikan tabungan pendidikan buat kamu dari awal. Untuk saat ini Papa tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sedangkan kamu Rafi, Papa harap kamu bersedia untuk mencari program beasiswa untuk meneruskan kuliahmu.”, jawab Papa dengan nada lemas.
Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.
“Mah, aku berangkat sekolah yah”, pamitku pada Mama sembari menerima beberapa lembar uang ratusan ribu darinya.
“Siang nanti ada jadwal praktikum kan? Jas lab-nya udah dibawa?,” tanya Mama memastikan padaku
“Udah kog”, jawabku singkat setelah aku menggenggam kunci mobilku.
AD4 1 TO adalah plat nomor polisi mobil Jazz warna biru yang dihadiahkan Papa kepadaku saat aku berulang tahun yang ke-16. Aku terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, kakak laki-lakiku, Rafi, saat ini masih meneruskan kuliahnya di Universitas Negeri di kota ini pada program studi paling bergengsi di fakultas ilmu sosial dan politik. Sedangkan aku sendiri saat ini masih duduk di bangku SMA kelas XII Ipa 1 SMA Negeri paling favorit di kotaku, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Walau aku bukanlah siswa paling cerdas di kelas, tapi setidaknya dari sejak kecil aku sering memperoleh peringkat di kelas. Dan keberhasilanku masuk ke sekolah ini bukanlah hasil dari “amplop” orang tuaku, tapi karena anugerah kecerdasan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Pagi ini seperti biasa aku mengendari mobil sedanku menuju sekolah, memang agak sedikit kotor karena kemarin sore sepulang dari les di sebuah bimbingan belajar cuaca hujan. Sedangkan pagi tadi aku belum sempat untuk mencucinya, memang kami berasal dari keluarga yang berada tapi semenjak masuk SMA Mama memutuskan untuk berhenti menggunakan jasa pembantu dan sopir. Selain untuk membuat kami mandiri dengan kepentingan kami sendiri, saat itu karena sopir Papa meminta istirahat karena usianya yang sudah renta dan sakit-sakitan, sedangkan Mbok Parmi, pembantu sekaligus perawatku dari kecil meninggal dunia juga karena factor usia.
“Sekarang kan sudah SMA, sudah besar, ngga perlu pake pembantu lagi ya.”, begitu kata Mama dua tahun yang lalu.
Walau membutuhkan sedikit penyesuaian namun aku bisa membiasakan diri mengerjakan pekerjaan rumah tanggaku, teman-temanku sering tidak percaya kalau aku mencuci baju sendiri, menyetrika bajuku, membereskan kamar, mengepel lantai kamarku, bahkan membersihkan toilet di kamarku.
“Selamat Pagi Anak-anak, seperti yang sudah Ibu sampaikan kemarin bahwa hari ini sekolah akan mengadakan psikotes khusus untuk siswa kelas XII. Fungsi daripada psikotes ini adalah salah satunya supaya dapat membantu kalian memutuskan program study apa yang sebaiknya kalian ambil di perguruan tinggi nanti setelah kalian lulus dari sekolah ini.”, begitulah prakata dari Ibu Endang, Wali Kelas kami sebelum dimulainya psikotes hari ini.
22 September 2005
“Hasil psikotesmu gimana Dit?”, tanya Aji kepadaku
“Disarankan masuk ke Pendidikan Dokter, Ji”, jawabku sembari menunjukkan lembaran hasil psikotes kepadanya
“Wah tepat seperti cita-cita kamu ya.”, sambut Aji
“Doakan aja Ji, nanti kalo aku jadi dokter kamu boleh periksa gratis di tempatku, hehee.”, candaku pada Aji.
“Dit, malam nanti kita ngumpul di rumah Nisa, kita mau bahas tugas kelompok Biologi, semalam Nisa dan Dyra udah kabarin aku.”, kata Aji kepadaku
“Boleh ngga apa-apa, aku pulang les jam 4 sore kog Ji, tapi kamu nanti nyamperin ke rumah ya Ji, aku ngga ada kendaraan.”, pintaku pada Aji
“Emang mobil kamu kemana Dit, diservis yah?”, tanya Aji
“Iya Ji, baru diservis.”, jawabku singkat
Sebenarnya aku tidak berniat membohongi Aji, tapi aku sendiri juga tidak yakin dikemanakan mobilku oleh Papa. Ini sudah ketiga kalinya Papa meminjam mobilku, biasanya hanya sehari dua hari, tapi ini sudah lebih dari empat hari. Memang sih Papa memberikan kompensasi uang transport yang lebih banyak karena aku harus naik taksi ke sekolah, tapi aku jadi curiga. Papa hanya bilang kalau mobilku dipakai untuk keperluan pekerjaan.
24 November 2005
“Mah, udah tiga bulan SPP ku belum dibayar?”, tanyaku pada Mama
“Iya, nanti Mama bilang ke Papa ya, ini sekarang kamu sarapan dulu.”, jawab mama
“Tapi awal bulan depan aku sudah UAS, Mah, harus sudah dilunasi tunggakan SPP-ku ya?,” pintaku pada Mama.
Memang aku sering malas untuk mengingatkan uang SPP pada orang tuaku, sering kali aku membayar SPP setiap dua bulan sekali karena malas membayar bukan karena tidak punya uang. Tapi kali ini aku semakin merasa aneh dengan keadaan di rumah.
15 Desember 2005
Hari ini di sekolah tidak ada KBM, hanya ada remedial bagi siswa yang disarankan memperbaiki nilainya pasca UAS. Jadi aku memutuskan untuk mampir ke pabrik garment milik Papa, sudah lama aku tidak mampir ke sana apalagi dengan kesibukanku setiap hari harus les dan praktikum setelah jam sekolah usai.
“Siang Mas Dito.”, sapa Pak Joko kepadaku
“Siang Pak, gimana kabarnya? Lama ngga pernah ketemu ya?”, jawabku basa-basi kepada Pak Joko
“Baik mas, saya sehat, Mas Dito mau cari Papa yah, ada kog di kantor, langsung masuk aja Mas”, kata Pak Joko
“Iya Pak, makasih ya Pak.”, jawabku singkat pada Pak Joko
Sesaat sebelum aku masuk ke ruangan Papa, aku memutuskan untuk iseng masuk ke pabrik. Aktifitas pabrik cukup sepi, tidak ada aktifitas operasional berarti, hanya terlihat beberapa orang yang sedang membereskan tumpukan kain.
Aku jadi bingung, kenapa pabrik bisa sepi seperti ini. Lalu aku segera mencari Papa untuk menanyakan kondisi pabrik.
“Kita memang sengaja menurunkan produktivitas Dit, menurunnya permintaan pasar dan naiknya harga bahan baku membuat Papa memutuskan untuk mengurangi produksi karena memang stock bahan jadi kita masih cukup banyak.”, jabar Papa kepadaku.
15 Maret 2006
“Nak, malam nanti kamu ada jadwal belajar kelompok ngga? Ada yang ingin Papa dan Mama sampaikan kepada kamu?”, tanya Mama padaku saat aku hampir selesai sarapan
“Engga Ma, aku ngga ada jadwal malam ini, emang mau ngomongin apa Ma?”, tanyaku
“Ya sudah, nanti malam saja kita bicarakan ya.”, jawab Mama sambil membereskan piringku
“Iya Ma, Dito sekolah dulu ya.”, pamitku pada Mama sembari mencium tangannya
“Belakangan kalian mungkin menaruh curiga dengan kondisi keuangan keluarga kita yang kurang stabil. Usaha Papa memang sedang tidak lancar belakangan ini, sedikit pemasukan yang ada dengan beberapa kewajiban jangka pendek yang harus tetap dipenuhi. Belakangan Papa sudah tidak mampu lagi menutup kewajiban jangka pendek dari Bank yang harus segera dilunasi, dan dengan berat hati kita harus menerima keputusan pihak Bank yang akan menyita semua asset usaha Papa. Sedangkan rumah ini akan Papa jual juga untuk menutup kewajiban hutang Papa kepada supplier dan memberikan pesangon kepada pegawai-pegawai Papa, dan dengan berat hati Papa minta dengan sangat kalian bisa merelakan mobil kalian untuk Papa jual supaya kita bisa membeli rumah sederhana untuk kita melanjutkan hidup.”, begitu kata Papa dengan mata berkaca-kaca.
Seperti disambar petir rasanya, berdiri bulu romaku mendengar perkataan Papa. Usaha Papa berakhir, mobilku bahkan akan dijualnya, “Lalu bagaimana dengan kuliah Dito, Pah nantinya? Tahun ini kan Dito akan lulus SMA?”, tanyaku dengan nada keras pada Papa.
“Papa minta maaf Dito, Papa tidak pernah berpikir untuk menginvestasikan tabungan pendidikan buat kamu dari awal. Untuk saat ini Papa tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sedangkan kamu Rafi, Papa harap kamu bersedia untuk mencari program beasiswa untuk meneruskan kuliahmu.”, jawab Papa dengan nada lemas.
Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.