15 Agustus 2005
“Mah, aku berangkat sekolah yah”, pamitku pada Mama sembari menerima beberapa lembar uang ratusan ribu darinya.
“Siang nanti ada jadwal praktikum kan? Jas lab-nya udah dibawa?,” tanya Mama memastikan padaku
“Udah kog”, jawabku singkat setelah aku menggenggam kunci mobilku.
AD4 1 TO adalah plat nomor polisi mobil Jazz warna biru yang dihadiahkan Papa kepadaku saat aku berulang tahun yang ke-16. Aku terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, kakak laki-lakiku, Rafi, saat ini masih meneruskan kuliahnya di Universitas Negeri di kota ini pada program studi paling bergengsi di fakultas ilmu sosial dan politik. Sedangkan aku sendiri saat ini masih duduk di bangku SMA kelas XII Ipa 1 SMA Negeri paling favorit di kotaku, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Walau aku bukanlah siswa paling cerdas di kelas, tapi setidaknya dari sejak kecil aku sering memperoleh peringkat di kelas. Dan keberhasilanku masuk ke sekolah ini bukanlah hasil dari “amplop” orang tuaku, tapi karena anugerah kecerdasan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Pagi ini seperti biasa aku mengendari mobil sedanku menuju sekolah, memang agak sedikit kotor karena kemarin sore sepulang dari les di sebuah bimbingan belajar cuaca hujan. Sedangkan pagi tadi aku belum sempat untuk mencucinya, memang kami berasal dari keluarga yang berada tapi semenjak masuk SMA Mama memutuskan untuk berhenti menggunakan jasa pembantu dan sopir. Selain untuk membuat kami mandiri dengan kepentingan kami sendiri, saat itu karena sopir Papa meminta istirahat karena usianya yang sudah renta dan sakit-sakitan, sedangkan Mbok Parmi, pembantu sekaligus perawatku dari kecil meninggal dunia juga karena factor usia.
“Sekarang kan sudah SMA, sudah besar, ngga perlu pake pembantu lagi ya.”, begitu kata Mama dua tahun yang lalu.
Walau membutuhkan sedikit penyesuaian namun aku bisa membiasakan diri mengerjakan pekerjaan rumah tanggaku, teman-temanku sering tidak percaya kalau aku mencuci baju sendiri, menyetrika bajuku, membereskan kamar, mengepel lantai kamarku, bahkan membersihkan toilet di kamarku.
“Selamat Pagi Anak-anak, seperti yang sudah Ibu sampaikan kemarin bahwa hari ini sekolah akan mengadakan psikotes khusus untuk siswa kelas XII. Fungsi daripada psikotes ini adalah salah satunya supaya dapat membantu kalian memutuskan program study apa yang sebaiknya kalian ambil di perguruan tinggi nanti setelah kalian lulus dari sekolah ini.”, begitulah prakata dari Ibu Endang, Wali Kelas kami sebelum dimulainya psikotes hari ini.
22 September 2005
“Hasil psikotesmu gimana Dit?”, tanya Aji kepadaku
“Disarankan masuk ke Pendidikan Dokter, Ji”, jawabku sembari menunjukkan lembaran hasil psikotes kepadanya
“Wah tepat seperti cita-cita kamu ya.”, sambut Aji
“Doakan aja Ji, nanti kalo aku jadi dokter kamu boleh periksa gratis di tempatku, hehee.”, candaku pada Aji.
“Dit, malam nanti kita ngumpul di rumah Nisa, kita mau bahas tugas kelompok Biologi, semalam Nisa dan Dyra udah kabarin aku.”, kata Aji kepadaku
“Boleh ngga apa-apa, aku pulang les jam 4 sore kog Ji, tapi kamu nanti nyamperin ke rumah ya Ji, aku ngga ada kendaraan.”, pintaku pada Aji
“Emang mobil kamu kemana Dit, diservis yah?”, tanya Aji
“Iya Ji, baru diservis.”, jawabku singkat
Sebenarnya aku tidak berniat membohongi Aji, tapi aku sendiri juga tidak yakin dikemanakan mobilku oleh Papa. Ini sudah ketiga kalinya Papa meminjam mobilku, biasanya hanya sehari dua hari, tapi ini sudah lebih dari empat hari. Memang sih Papa memberikan kompensasi uang transport yang lebih banyak karena aku harus naik taksi ke sekolah, tapi aku jadi curiga. Papa hanya bilang kalau mobilku dipakai untuk keperluan pekerjaan.
24 November 2005
“Mah, udah tiga bulan SPP ku belum dibayar?”, tanyaku pada Mama
“Iya, nanti Mama bilang ke Papa ya, ini sekarang kamu sarapan dulu.”, jawab mama
“Tapi awal bulan depan aku sudah UAS, Mah, harus sudah dilunasi tunggakan SPP-ku ya?,” pintaku pada Mama.
Memang aku sering malas untuk mengingatkan uang SPP pada orang tuaku, sering kali aku membayar SPP setiap dua bulan sekali karena malas membayar bukan karena tidak punya uang. Tapi kali ini aku semakin merasa aneh dengan keadaan di rumah.
15 Desember 2005
Hari ini di sekolah tidak ada KBM, hanya ada remedial bagi siswa yang disarankan memperbaiki nilainya pasca UAS. Jadi aku memutuskan untuk mampir ke pabrik garment milik Papa, sudah lama aku tidak mampir ke sana apalagi dengan kesibukanku setiap hari harus les dan praktikum setelah jam sekolah usai.
“Siang Mas Dito.”, sapa Pak Joko kepadaku
“Siang Pak, gimana kabarnya? Lama ngga pernah ketemu ya?”, jawabku basa-basi kepada Pak Joko
“Baik mas, saya sehat, Mas Dito mau cari Papa yah, ada kog di kantor, langsung masuk aja Mas”, kata Pak Joko
“Iya Pak, makasih ya Pak.”, jawabku singkat pada Pak Joko
Sesaat sebelum aku masuk ke ruangan Papa, aku memutuskan untuk iseng masuk ke pabrik. Aktifitas pabrik cukup sepi, tidak ada aktifitas operasional berarti, hanya terlihat beberapa orang yang sedang membereskan tumpukan kain.
Aku jadi bingung, kenapa pabrik bisa sepi seperti ini. Lalu aku segera mencari Papa untuk menanyakan kondisi pabrik.
“Kita memang sengaja menurunkan produktivitas Dit, menurunnya permintaan pasar dan naiknya harga bahan baku membuat Papa memutuskan untuk mengurangi produksi karena memang stock bahan jadi kita masih cukup banyak.”, jabar Papa kepadaku.
15 Maret 2006
“Nak, malam nanti kamu ada jadwal belajar kelompok ngga? Ada yang ingin Papa dan Mama sampaikan kepada kamu?”, tanya Mama padaku saat aku hampir selesai sarapan
“Engga Ma, aku ngga ada jadwal malam ini, emang mau ngomongin apa Ma?”, tanyaku
“Ya sudah, nanti malam saja kita bicarakan ya.”, jawab Mama sambil membereskan piringku
“Iya Ma, Dito sekolah dulu ya.”, pamitku pada Mama sembari mencium tangannya
“Belakangan kalian mungkin menaruh curiga dengan kondisi keuangan keluarga kita yang kurang stabil. Usaha Papa memang sedang tidak lancar belakangan ini, sedikit pemasukan yang ada dengan beberapa kewajiban jangka pendek yang harus tetap dipenuhi. Belakangan Papa sudah tidak mampu lagi menutup kewajiban jangka pendek dari Bank yang harus segera dilunasi, dan dengan berat hati kita harus menerima keputusan pihak Bank yang akan menyita semua asset usaha Papa. Sedangkan rumah ini akan Papa jual juga untuk menutup kewajiban hutang Papa kepada supplier dan memberikan pesangon kepada pegawai-pegawai Papa, dan dengan berat hati Papa minta dengan sangat kalian bisa merelakan mobil kalian untuk Papa jual supaya kita bisa membeli rumah sederhana untuk kita melanjutkan hidup.”, begitu kata Papa dengan mata berkaca-kaca.
Seperti disambar petir rasanya, berdiri bulu romaku mendengar perkataan Papa. Usaha Papa berakhir, mobilku bahkan akan dijualnya, “Lalu bagaimana dengan kuliah Dito, Pah nantinya? Tahun ini kan Dito akan lulus SMA?”, tanyaku dengan nada keras pada Papa.
“Papa minta maaf Dito, Papa tidak pernah berpikir untuk menginvestasikan tabungan pendidikan buat kamu dari awal. Untuk saat ini Papa tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sedangkan kamu Rafi, Papa harap kamu bersedia untuk mencari program beasiswa untuk meneruskan kuliahmu.”, jawab Papa dengan nada lemas.
Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.
“Mah, aku berangkat sekolah yah”, pamitku pada Mama sembari menerima beberapa lembar uang ratusan ribu darinya.
“Siang nanti ada jadwal praktikum kan? Jas lab-nya udah dibawa?,” tanya Mama memastikan padaku
“Udah kog”, jawabku singkat setelah aku menggenggam kunci mobilku.
AD4 1 TO adalah plat nomor polisi mobil Jazz warna biru yang dihadiahkan Papa kepadaku saat aku berulang tahun yang ke-16. Aku terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, kakak laki-lakiku, Rafi, saat ini masih meneruskan kuliahnya di Universitas Negeri di kota ini pada program studi paling bergengsi di fakultas ilmu sosial dan politik. Sedangkan aku sendiri saat ini masih duduk di bangku SMA kelas XII Ipa 1 SMA Negeri paling favorit di kotaku, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Walau aku bukanlah siswa paling cerdas di kelas, tapi setidaknya dari sejak kecil aku sering memperoleh peringkat di kelas. Dan keberhasilanku masuk ke sekolah ini bukanlah hasil dari “amplop” orang tuaku, tapi karena anugerah kecerdasan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Pagi ini seperti biasa aku mengendari mobil sedanku menuju sekolah, memang agak sedikit kotor karena kemarin sore sepulang dari les di sebuah bimbingan belajar cuaca hujan. Sedangkan pagi tadi aku belum sempat untuk mencucinya, memang kami berasal dari keluarga yang berada tapi semenjak masuk SMA Mama memutuskan untuk berhenti menggunakan jasa pembantu dan sopir. Selain untuk membuat kami mandiri dengan kepentingan kami sendiri, saat itu karena sopir Papa meminta istirahat karena usianya yang sudah renta dan sakit-sakitan, sedangkan Mbok Parmi, pembantu sekaligus perawatku dari kecil meninggal dunia juga karena factor usia.
“Sekarang kan sudah SMA, sudah besar, ngga perlu pake pembantu lagi ya.”, begitu kata Mama dua tahun yang lalu.
Walau membutuhkan sedikit penyesuaian namun aku bisa membiasakan diri mengerjakan pekerjaan rumah tanggaku, teman-temanku sering tidak percaya kalau aku mencuci baju sendiri, menyetrika bajuku, membereskan kamar, mengepel lantai kamarku, bahkan membersihkan toilet di kamarku.
“Selamat Pagi Anak-anak, seperti yang sudah Ibu sampaikan kemarin bahwa hari ini sekolah akan mengadakan psikotes khusus untuk siswa kelas XII. Fungsi daripada psikotes ini adalah salah satunya supaya dapat membantu kalian memutuskan program study apa yang sebaiknya kalian ambil di perguruan tinggi nanti setelah kalian lulus dari sekolah ini.”, begitulah prakata dari Ibu Endang, Wali Kelas kami sebelum dimulainya psikotes hari ini.
22 September 2005
“Hasil psikotesmu gimana Dit?”, tanya Aji kepadaku
“Disarankan masuk ke Pendidikan Dokter, Ji”, jawabku sembari menunjukkan lembaran hasil psikotes kepadanya
“Wah tepat seperti cita-cita kamu ya.”, sambut Aji
“Doakan aja Ji, nanti kalo aku jadi dokter kamu boleh periksa gratis di tempatku, hehee.”, candaku pada Aji.
“Dit, malam nanti kita ngumpul di rumah Nisa, kita mau bahas tugas kelompok Biologi, semalam Nisa dan Dyra udah kabarin aku.”, kata Aji kepadaku
“Boleh ngga apa-apa, aku pulang les jam 4 sore kog Ji, tapi kamu nanti nyamperin ke rumah ya Ji, aku ngga ada kendaraan.”, pintaku pada Aji
“Emang mobil kamu kemana Dit, diservis yah?”, tanya Aji
“Iya Ji, baru diservis.”, jawabku singkat
Sebenarnya aku tidak berniat membohongi Aji, tapi aku sendiri juga tidak yakin dikemanakan mobilku oleh Papa. Ini sudah ketiga kalinya Papa meminjam mobilku, biasanya hanya sehari dua hari, tapi ini sudah lebih dari empat hari. Memang sih Papa memberikan kompensasi uang transport yang lebih banyak karena aku harus naik taksi ke sekolah, tapi aku jadi curiga. Papa hanya bilang kalau mobilku dipakai untuk keperluan pekerjaan.
24 November 2005
“Mah, udah tiga bulan SPP ku belum dibayar?”, tanyaku pada Mama
“Iya, nanti Mama bilang ke Papa ya, ini sekarang kamu sarapan dulu.”, jawab mama
“Tapi awal bulan depan aku sudah UAS, Mah, harus sudah dilunasi tunggakan SPP-ku ya?,” pintaku pada Mama.
Memang aku sering malas untuk mengingatkan uang SPP pada orang tuaku, sering kali aku membayar SPP setiap dua bulan sekali karena malas membayar bukan karena tidak punya uang. Tapi kali ini aku semakin merasa aneh dengan keadaan di rumah.
15 Desember 2005
Hari ini di sekolah tidak ada KBM, hanya ada remedial bagi siswa yang disarankan memperbaiki nilainya pasca UAS. Jadi aku memutuskan untuk mampir ke pabrik garment milik Papa, sudah lama aku tidak mampir ke sana apalagi dengan kesibukanku setiap hari harus les dan praktikum setelah jam sekolah usai.
“Siang Mas Dito.”, sapa Pak Joko kepadaku
“Siang Pak, gimana kabarnya? Lama ngga pernah ketemu ya?”, jawabku basa-basi kepada Pak Joko
“Baik mas, saya sehat, Mas Dito mau cari Papa yah, ada kog di kantor, langsung masuk aja Mas”, kata Pak Joko
“Iya Pak, makasih ya Pak.”, jawabku singkat pada Pak Joko
Sesaat sebelum aku masuk ke ruangan Papa, aku memutuskan untuk iseng masuk ke pabrik. Aktifitas pabrik cukup sepi, tidak ada aktifitas operasional berarti, hanya terlihat beberapa orang yang sedang membereskan tumpukan kain.
Aku jadi bingung, kenapa pabrik bisa sepi seperti ini. Lalu aku segera mencari Papa untuk menanyakan kondisi pabrik.
“Kita memang sengaja menurunkan produktivitas Dit, menurunnya permintaan pasar dan naiknya harga bahan baku membuat Papa memutuskan untuk mengurangi produksi karena memang stock bahan jadi kita masih cukup banyak.”, jabar Papa kepadaku.
15 Maret 2006
“Nak, malam nanti kamu ada jadwal belajar kelompok ngga? Ada yang ingin Papa dan Mama sampaikan kepada kamu?”, tanya Mama padaku saat aku hampir selesai sarapan
“Engga Ma, aku ngga ada jadwal malam ini, emang mau ngomongin apa Ma?”, tanyaku
“Ya sudah, nanti malam saja kita bicarakan ya.”, jawab Mama sambil membereskan piringku
“Iya Ma, Dito sekolah dulu ya.”, pamitku pada Mama sembari mencium tangannya
“Belakangan kalian mungkin menaruh curiga dengan kondisi keuangan keluarga kita yang kurang stabil. Usaha Papa memang sedang tidak lancar belakangan ini, sedikit pemasukan yang ada dengan beberapa kewajiban jangka pendek yang harus tetap dipenuhi. Belakangan Papa sudah tidak mampu lagi menutup kewajiban jangka pendek dari Bank yang harus segera dilunasi, dan dengan berat hati kita harus menerima keputusan pihak Bank yang akan menyita semua asset usaha Papa. Sedangkan rumah ini akan Papa jual juga untuk menutup kewajiban hutang Papa kepada supplier dan memberikan pesangon kepada pegawai-pegawai Papa, dan dengan berat hati Papa minta dengan sangat kalian bisa merelakan mobil kalian untuk Papa jual supaya kita bisa membeli rumah sederhana untuk kita melanjutkan hidup.”, begitu kata Papa dengan mata berkaca-kaca.
Seperti disambar petir rasanya, berdiri bulu romaku mendengar perkataan Papa. Usaha Papa berakhir, mobilku bahkan akan dijualnya, “Lalu bagaimana dengan kuliah Dito, Pah nantinya? Tahun ini kan Dito akan lulus SMA?”, tanyaku dengan nada keras pada Papa.
“Papa minta maaf Dito, Papa tidak pernah berpikir untuk menginvestasikan tabungan pendidikan buat kamu dari awal. Untuk saat ini Papa tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sedangkan kamu Rafi, Papa harap kamu bersedia untuk mencari program beasiswa untuk meneruskan kuliahmu.”, jawab Papa dengan nada lemas.
Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.
0 komentar:
Post a Comment