21 April 2012

Masa Depanku Setelah Hancurnya Perusahaan Papa 2

…… Aku hanya terduduk lemas, bagaimana seandainya cita-citaku untuk menjadi dokter kandas. Aku tak habis pikir akan mengalami situasi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Selama ini apa yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh orang tuaku, hal sekecil apapun aku tak perlu kuatir tapi sekarang semuanya harus kurelakan. Lalu bagaimana masa depanku nanti setelah perusahaan Papa hancur seperti ini.

30 April 2006

Hari ini adalah hari pertama setelah kepindahan kami ke rumah sederhana ini, tidak ada lagi mobil, tidak ada lagi kamar dengan AC. Mulai hari ini aku menjalani kehidupanku dengan status baru, tapi aku bertekad untuk tidak menyerah, satu bulan lagi Ujian Akhir Nasional dan aku mau berjuang untuk bisa melewati semua ini. Setidaknya aku bersyukur karena sudah tiga tahun yang lalu Mama membiasakan kami tidak manja dengan pekerjaan rumah tangga sehingga aku terbiasa mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

Papa hanya terlihat selalu termenung setiap waktu, entah apa yang dia pikirkan, entah apa yang dia akan rencanakan. Aku tak begitu mengerti perasaannya, mungkin dia terpukul dam merasa kalah dengan berakhirnya bisnis yang diperjuangkan Papa mulai dari nol selama bertahun-tahun ini, yang aku perjuangkan sekarang sekolahku, masa depanku setelah aku memahami bahwa orang tuaku sudah tak lagi kuharapkan mampu menyokong pendidikanku nantinya. Untunglah untuk menyelesaikan pendidikan SMA-ku masih tersisa sedikit dana dari sisa penjualan asset-aset keluarga, tapi selepasnya aku dari SMA, aku masih bertekad untuk dapat menempuh pendidikan di bangku kuliah bagaimanapun caranya karena bagiku pendidikan adalah investasi jangka panjang.

Sedangkan Mama berusaha untuk mencari penghasilan dengan menjahit baju. Dua mesin jahit milik Mama sengaja dipertahankan, selain harganya tidak seberapa, memang maksud Mama adalah dengan memanfaatkan kembali hobby-nya untuk menjahit baju. Mama menyulap ruang tamu kami yang kecil menjadi butik ala kadarnya, tidak hanya menjahit apabila ada pesanan dari teman-temannya tetapi Mama juga menjahit banyak baju untuk di-display di rumah. Hasilnya tidak seberapa tapi lumayan dengan itu masih bisa mendapat pemasukan untuk menghidupi kami sekeluarga dengan sekedarnya.

Untuk transportasiku ke sekolah, aku terpaksa naik bus. Lucu rasanya, dulu ketika aku bisa duduk di mobil sedan dengan AC tak pernah terbayangkan pagi-pagi harus berdiri di pinggir jalan menunggu bus kota menuju sekolahku, berdesak-desakan dengan penumpang lain di bus. Berbagi tempat duduk dengan orang yang tidak dikenal, bahkan seringkali tidak kebagian tempat duduk sehingga harus betah berdiri selama di perjalanan. Di bus semua jadi sama, entah kaya entah miskin, apapun statusnya dan sama sekali tidak penting menyandang status mantan anak orang kaya seperti aku.

Memang harta tidak membuat bahagia, tapi jatuh dalam keterpurukan ini membuat aku sedikit tertekan. Beberapa waktu ini aku merasa nyeri di dada seperti sesak napas, susah ketika ingin menarik napas yang dalam. Kata Mama mungkin karena aku terlalu sering di luar dengan kondisi cuaca yang tidak baik, angin yang kencang atau apalah. Entahlah aku tidak tahu, uang untuk periksa ke dokter kami tak punya, aku harus menahan pedih di hatiku menghadapi kenyataan ini. Sering aku menangis di malam hari, aku takut kalau-kalau aku tidak mempunyai kesempatan untuk meneruskan kuliah nantinya. Aku kuatir dengan masa depan keluarga, aku kuatir dengan kondisi Papa pasca usahanya yang bangkrut. Aku sedih karena Mama harus berjuang untuk menghidupi kami, sedangkan Rafi cukup beruntung, dia mendapat beasiswa untuk semester depan. Kelak kalau aku kuliah, aku juga harus mampu mendapat beasiswa tapi biaya masuk kuliah cukup besar nominalnya sekitar 5 juta lebih ketika Rafi masuk kuliah dulu. Jumlah itu mungkin tidak ada artinya bagi kami dulu, tapi sekarang uang darimana sebanyak itu.

27 Juni 2006

Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Aku sengaja tak menampakkan diri di sekolah sama sekali, bukan karena aku takut tidak lulus tapi karena kebimbangan hatiku menghadapi rencana masa depanku nantinya.

“Ma, nanti berangkat ke sekolah naik apa?”, tanyaku pada Mama yang saat itu sedang berdandan

“Ya naik bus Nak, ngga apa-apa kog, Mama santai aja. Kamu kenapa belum siap-siap jam segini?”, tanya Mama padaku

“Aku malas Ma, aku di rumah aja. Mama ambil nilaiku sendiri aja ya Ma?”, pintaku pada Mama

“Yakin kamu ngga mau ikut?”, tanya Mama memastikan padaku

“Yakin Ma.”, jawabku singkat

“Ya sudah kalau begitu, Mama berangkat sendiri ya.”, pamit Mama padaku.

Hasil UAN-ku cukup lumayan, aku hampir tidak percaya mendapat nilai rata-rata 9 lebih dan peringkat 15 di antara sekitar 250 siswa kelas IPA. Hal ini membuat aku semangat untuk menyongsong SPMB minggu depan, ini harapanku untuk bisa kuliah dengan biaya yang murah di Universitas Negeri dan seperti cita-citaku aku menempatkan pilihan pertama di Pendidikan Dokter walau memang aku agak ragu apakah kami mampu membayar semua keperluan kuliahku nanti. Namun aku yakin masih ada Tuhan, kalau Ia berkendak pasti tidak ada mustahil.

5 Agustus 2006

Hari ini adalah pengumuman SPMB, hari yang aku tunggu-tunggu selama ini. Sebuah hari yang menjadi penentuan apakah cita-citaku menjadi dokter akan terwujud melalui pendidikan di universitas negeri, ya tentu saja, mana mungkin orang tuaku mampu menyekolahkan aku di universitas swasta. Selain karena nilai prestis yang tinggi apabila lolos melalui SPMB, juga karena melalui SPMB ini aku dapat memperoleh kesempatan untuk meneruskan ke perguruan tinggi negeri dengan biaya pendidikan yang paling murah.

“Dit, nanti aku samperin ke rumah jam 9 malam yah”, pesan singkat Aji padaku melalui HP ku

“Oke, makasih ya Ji, kita nanti ke warnet mana?”, balasku pada AJi

“Warnet di dekat rumah Dina aja, dia juga mau barengan lihat pengumuman SPMB di warnet.”, balas Aji padaku

*******

Tiga jam kami habiskan mengobrol di rumah Dina sambil menunggu tengah malam menuju pengumuman SPBM online, kami tidak sabar kalau harus menunggu esok pagi melalui pengumuman di surat kabar. Jadi kami memutuskan untuk bersama-sama ke warnet untuk mengetahui hasil SPMB tepat tengah malam nanti. Aku benar-benar tidak sabar, hampir setiap menit aku memandangi jam tangan, bahkan pembicaraan kami jadi hambar karena sama-sama gugup menunggu hasil SPMB.

“Kalau aku tidak keterima SPMB, Mama sudah mendaftarkan aku di universitas swasta (menyebut nama kampus bergengsi di Jogja), kalau kalian bagaimana?”, tanya Dina kepada kami

“Aku masih berharap diterima di universitas dengan ikatan dinas (menyebut nama kampus kedinasan bergengsi Tangerang)”, jawab Aji

“Kalau kami gimana Dit?”, tanya Dina padaku

“Kalau universitas swasta sepertinya aku belum ada keinginan ke sana Din, jujur aku belum tahu bagaimana seandainya aku tidak lolos SPMB. Untuk menunggu dan mengulang SPMB tahun depan sepertinya aku pun enggan.”, jawabku padanya dengan hati yang tak karuan

******

Tampaknya warnet malam ini dipenuhi dengan peserta SPMB yang memang seperti kami sudah tidak sabar mengetahui hasil pengumuman, namun kami masih beruntung mendapatkan 2 PC tersisa. Aku dan Aji bergabung dalam satu PC sedangkan Dina mengakses satu PC seorang diri.

“Kamu duluan aja Ji”, pintaku pada Aji, jujur aku cukup nervous jadi mempersilakan Aji untuk mengakses terlebih dahulu.

Lalu setelah Aji memasukkan nomor registrasinya, maka yang tampil di monitor adalah dia lolos dalam pilihan pertama di Tekhnik Mesin salah satu universitas terbaik Indonesia di Kota Jogja.

“Wah, selamat ya Ji, kamu diterima di Tekhnik Mesin.”, kataku pada Aji dengan sedikit senyum getir, was-was dengan hasil tesku nantinya.

“Ok, sekarang giliran kamu Dit.”, kata Aji padaku sembari mengakses halaman utama web pengumuman SPMB itu.

“Selamat ya Dit, kamu jadi calon dokter sekarang.”, kata-kata itulah yang aku bayangkan diucapkan AJi kepadaku sesudah nampak hasil tes SPMB ku nanti.

Namun ternyata yang tampil adalah bahwa saya sama sekali TIDAK LOLOS dalam tes SPMB ini.

Damn, lengkap sudah, bisnis Papa hancur, kami hidup miskin dan sekarang kesempatanku untuk menjadi dokter melalui jalur SPMB, harapanku satu-satunya, hancur sudah.

Aku pulang dengan hati yang hancur, perasaan malu kepada teman-temanku. Apa jadinya jika semua temanku tahu seorang Dito, yang cukup berprestasi di kelas sama sekali tidak lolos jalur SPMB. Aku menyalahkan Tuhan yang bahkan tidak mengabulkan cita-citaku sama sekali. Sesampainya di rumah tak kuhiraukan sama sekali ketika Papa menanyai hasil SPMB-ku, aku segera mengurung diri di kamar, menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli kalau hari sudah terlarut malam, yang aku rasakan hanya pedih di hatiku, semua kejadian buruk yang menimpaku satu tahun belakangan ini.

6 Agustus 2006

Papa mendobrak paksa pintu kamarku ketika aku tak menjawab panggilannya sedari tadi pagi, mungkin dia berpikiran kalau-kalau aku menempuh jalan pintas karena kekecewaan teramat dalam yang aku rasakan semalam.

“Sudah pagi Dit, kamu makan dulu ya.”, bujuk Papa padaku sambil mengusap-usap kepalaku

Aku hanya menggelengkan kepala tanpa suara, bagiku hidupku sudah hancur. Cita-citaku harus kukubur, aku tak punya daya untuk menunggu satu tahun lagi untuk mengulang SPMB tahun depan.

Lalu untuk apa aku selama ini berdoa kepada Tuhan, kalau satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-citaku bahkan ditutup-Nya. Aku tak akan lagi mau berdoa, bagiku hidupku harus kuperjuangkan sendiri sekarang. Untuk apa aku selalu berdoa jika yang kami peroleh hanya kemalangan, kesedihan, kekurangan dan kehancuran. Apa artinya perjuanganku selama ini, sekolah dengan prestasi yang cukup membanggakan, memprioritaskan waktu untuk mengikuti bimbel tapi kegagalan yang aku dapatkan. Dimanakah Tuhan, apakah belum puas Dia menekan hidupku.

0 komentar:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com