05 February 2011

Setetes Embun Cinta Niyala

Karya : Habiburrahman El-Shirazy

SATU
SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta?
Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu.
Tak ada! Jawabnya sendiri.

Kecuali, manusia yang hidup tanpa hati dan nurani, seperti pelacur yang biasa hidup nista dan mendustakan cinta. Bahkan seekor merpati yang tiada dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. Tuhan menciptakan mahklukNya di semesta raya ini juga atas dasar kehendak dan cintaNya. Matahari, rembulan dan bintang bersinar karena cinta. Lautan menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir karena cinta. Angin bertiup karena cinta. Pohon berbuah karena cinta. Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Lebah meneteskan madu karena cinta. Dan hidup ini pada asalnya adalah aliran cinta. Sumbernya adalah samudra cinta Allah yang meliputi semesta. Dan segala benda dalam alam raya tunduk patuh menyembah Allah juga atas dasar cinta. Bukankah kesejatian penyembahan dan kepatuhan itu terlahir dari kedahsyatan cinta? Lalu kenapa selalu saja ada yang mengusik hukum cinta?

Ia masih terduduk diatas sajadahnya. Kedua matanya terpejam. Dari dua sudut matanya keluar tetesan bening seperti embun.

Oh, haruskah aku gadaikan hidupku ini? Pasrah tercampak tanpa mimpi mulia seperti pelacur hina yang kalah oleh nafsunya. Hampa, pahit dan getir tanpa cinta. Oh! Bukankah lebih baik aku mati saja jika harus menyerahkan mahkota kehormatan tanpa cinta. Menerima pasangan hidup dengan hati perih tersiksa. Merentas hidup baru hanya untuk mereguk nestapa selamanya. Melayani suami tanpa cinta. Terpaksa dan tersiksa. Melahirkan anak tanpa rasa bangga. Hidup selamanya diatas derita batin tiada tara.

Oh, jika demikian adanya, bukankah aku lebih kalah dari pelacur itu. Mereka mereguk hidupnya atas kehendaknya, atas pilihannya, bahkan mereka bisa begitu menikmati hidup yang dijalani meskipun menistakan cinta. Tapi aku, aku akan hidup dalam bara belenggu keterpaksaan dan pemerkosaan sampai akhir hayat! Kenapa aku mesti mereguk kekalahan ini? Kekalahan untuk hidup ditinggal cinta, dipeluk kebencian dan kehinaan. Kenapaa!? Bukankah ini azab yang tiada tara perihnya? Apakah aku memang berhak menerima azab sepedih ini? Dosa apakah yang telah aku perbuat?

Pertanyaan-pertanyaan itu mencerca dan menusuk-nusuk ulu hatinya. Merajam-rajam batok kepalanya. Sakit, nyeri, perih dan pedih. Air matanya meleleh.

Ia baca sekali lagi surat penting dari ayahnya yang dikirim dengan kilat khusus dari Sidempuan. Surat yang membuatnya kehilangan gairah untuk hidup. Dan membuat ia begitu membenci dirinya sendiri. Surat yang ia rasakan bagaikan vonis masuk neraka selam-lamanya. Padahal, saat itu ia sedang menunggu hari terindah dalam hidupnya, yaitu di wisuda sebagai dokter. Saat ia ingin mereguk manisnya madu kebahagiaan dari hasil belajarnya selama ini. Saat ia membayangkan akan bisa merenda hari-hari indah di depan dengan gelar yang ia peroleh. Namun, isi surat dari ayahnya itu bagai petir yang menghanguskan semua harapannya. Memberangus mimpi-mimpinya dan meluluhlantakkan istana cinta yang ia bangun dengan curahan jiwa untuk menyongsong masa depannya. Kalau saja surat itu bukan dari ayahnya. Kalau saja surat itu bukan itu isinya, Kalau saja calon yang disebut itu bukan Roger orangnya.
Oh, kalau saja ia bukan ia, tapi ia adalah debu yang tak mungkin terbebani oleh segala bentuk tidak suka. Dadanya sesak, namun ia tetap menekuri kata demi kata surat itu,

Anakku Niyala
Di Jakarta
Assalamu’alaikum,
Ayah di Sidempuan sehat berkecukupan, demikian juga kakakmu, Herman. Kakakmu kini bahkan telah bekerja di kantor kelurahan. Tidak lagi menjadi buruh tani. Sebentar lagi anaknya yang kedua akan lahir. Ayah berharap kau di Jakarta sehat dan baik-baik saja.
Anakku Niyala,
Ayah bahagia membaca suratmu satu bulan yang lalu. Saat kau kabarkan sebentar lagi akan di wisuda jadi dokter, ayah menangis haru. Juga bahagia. Meski ayah tidak iku andil apa-apa, kecuali sepotong doa. Kakakmu sangat bahagia. Dia langsung membuat acara syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Berita bahagia ini akhirnya menyebar. Orang-orang sekampung ikut bahagia, sebab akhirnya dari kampung terpencil di pedalaman Sumatra ini ada yang bisa meraih gelar dokter dari sebuah universitas negeri ternama di Jakarta.
Anakku Niyala,
Dalam suasana bahagia ini ayah minta tolong kepadamu. Dan ayah yakin anakku yang shalehah bisa menolong ayahnya. Begini anakku, kabar engkau tak lama lagi menjadi dokter ternyata membuat bahagia Pak Haji Cosmas, kepala desa kita. Beberapa hari yang lalu beliau datang menemui ayah dan melamarmu untuk diminta menjadi istri anak bungsunya, Roger. Kau tentu kenal Roger. Sebab waktu kecil kau pernah sekolah satu SD dengannya.
Anakku Niyala,
Behadapan dengan Haji Cosmas ayah tiada berdaya apa-apa kecuali mengangguk iya. Sebab terlalu banyak ayah berhutang budi padanya. Kakakmu Herman bisa bekerja di kelurahan juga karena jasanya. Dan ada satu jasa besar Haji Cosmas pada keluarga kita, yang mungkin baru kamu ketahui lewat surat ini.
Begini anakku,
 
Saat ibumu meninggal kau masih kelas empat SD. Ketahuilah, ibumu meninggal setelah mengidap kangker otak. Seluruh harta yang ayah punya saat itu habis untuk biaya perawatan ibumu di rumah sakit. Ayah berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan nyawa ibumu. Pada saa kritis, Pak Cosmas yang saat itu menjadi Sintua (pembantu pastor), datang menawarkan pinjaman. Ayah tidak bisa berpikir panjang kecuali menerima tawaran itu sepenuhnya. Yang ada dalam pikiran ayah saat itu adalah bagaimana ibumu yang sangat ayah cintai itu selamat. Ayah dipinjami dua petak sawah. Sawah itu ayah jual untuk pengobatan ibumu. Namun takdir menentukan lain, ibumu tetap tak bisa diselamatkan. Saat itu ayah sudah tidak memiliki apa-apa, bahkan rumah pun sudah ayah gadaikan. Dan Haji Cosmas datang lagi untuk menawarkan pinjaman, ayah terima.
 
Ketahuilah anakku, sampai saat ini pinjaman ini belum mampu ayah lunasi. Total hutang ayah delapan puluh juta. Pak Cosmas masih berbuat baik tidak meminta bunga sama sekali. Namun dari mana ayah bisa mendapat uang segitu banyaknya. Jika dihitung-hitung sudah 13 tahun lebih hutang itu belum bisa ayah lunasi. Ayah sudah tak kepalang tanggung malunya pada Haji Cosmas, namun apa daya ayah tidak memiliki apa-apa. Beban hutang itu bagai paku yang menancap di ubun-ubun kepala ayah, meskipun Pak Cosmas tidak pernah menagihnya. Ketika kau berprestasi di Jakarta dan masuk fakultas Kedokteran, kau lah harapan yang akan menyelamatkan ayah dari derita batin yang berat ini. Kakakmu Herman tidak bisa berbuat banyak, ia sendiri susah menghidupi anak istrinya.
 
Anakku Niyala,
Ketika Pak Cosmas melamar dirimu pada ayah, beliau bilang, jika kau nanti benar-benar menjadi istri Roger, anak bungsunya, maka seluruh hutang ayah dianggap lunas. Bahkan ayah dijanjikan akan dihajikan tahun depan bersama beliau. Anakku, perkataan Pak Cosmas itu adalah gerbang kemerdekaan bagi ayah. Maka dengan penuh harap, ayah minta keikhlasanmu untuk memerdekakan ayahmu yang tidak berdaya ini. Pada hari wisudamu, insyaAllah ayah akan datang bersama kakakmu. Dan pada saat itu pula ayah akan dengar jawabanmu secara langsung. Jika kau ikhlas dan setuju, ayah akan sangat bahagia dan kita akan langsung pulang bersama ke Sidempuan untuk merembug masalah ini dengan keluarga Haji Cosmas. Di tanah kelahiranmu kau bisa mengabdi dan mengamalkan ilmumu. Dan orang-orang Sidempuan akan menyambutmu dengan penuh suka cita dan kehangatan.
Mengingat pentingnya surat ini, maka ayah mengirimkannya dengan kilat khusus. Ayah tidak memaksamu, namun kemerdekaan ayah ada ditanganmu. Anakku, ini bisa jadi pilihan yang sulit bagimu, tapi apa yang ayah bisa lakukan? Padahal awal bulan depan adalah jatuh tempo hutang ayah setelah berkali-kali ayah minta kelonggaran dan penangguhan pada Pak Cosmas.
 
Sekian dulu. Maafkan ayahmu, jika surat ini tidak berkenan di hatimu.
Wassalamu’alaikum,
Ayahmu
Rusli Hasibuan

Ia memejamkan mata.
Sakit.
Seperti ada belati menghujam ke dalam ulu hatinya.
Perih.
Seolah ada paku berkarat tertancap di batok kepalanya.
Tulang-tulang terasa ngilu bagaikan diremuk-remuk dengan palu godam. Dan langit-langit seakan-akan runtuh menimpa dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang paling menderita didunia. Biasakah ia menolak isi surat itu? Mampukah ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?

Tidak! Tidak mungkin aku mau berlaku durhaka! Jeritnya dalam hati.
Namun memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi istri Roger tak ada bedanya dengan hidup terhina dan sengsara selamanya. Tak ada bedanya dengan melacurkan diri. Menggadaikan jiwa raga untuk menebus materi delapan puluh juta demi kemerdekaan ayah. Oh alangkah nistanya! Ia merasa lebih pelacur dari pelacur. Lebih terhina dari perempuan yang diperkosa seribu durjana.
Bisa jadi niatnya suci, menikah dengan terpaksa. Tapi nuraninya terdalam mengingkari itu bukanlah pernikahan tapi pelacuran. Bukankah imbalan pernikahan itu adalah lunasnya hutang delapan puluh juta rupiah.
Oh celakalah diriku, aku akan melacurkan diriku dengan kedok pernikahan!” Ia meratap sedih. Ia belum bisa mengakui itu pernikahan, sebab tak ada nurani cinta dan keikhlasan yang mengiringinya. Bukankah pernikahan adalah ibadah? Dan bukankah ibadah harus disertai kecintaan dan keikhlasan agar diterima.
Rasanya ia mau membenci ayahnya.
“Ini semua gara-gara ayah!” Serapahnya.

Namun buru-buru nuraninya mengingatkan bahwa ayahnya lebih menderita dari dirinya. Ayahnya rela menggadaikan kemerdekaannya demi ketulusan cinta pada almarhumah ibunya. Kalau bukan karena kekuatan cinta mustahil ayahnya mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk kemerdekaannya. Bukankah semua yang berhutang pada dasarnya menggadaikan kemerdekaannya? Tiba-tiba wajah ayahnya yang tirus, tua, tulang menonjol dan mata berkaca-kaca hadir dalam batinnya. Tidak ayah, ayah tidak bersalah! Tegasnya dalam hati.
Lalu siapa yang bertanggungjawab atas nestapa yang sedang mengintainya bagaikan seekor serigala buas ini? Oh, andai saja nama itu bukan Cosmas dan Roger, tentu ia tidak akan terpuruk membenci keadaan seperti ini. Cosmas! Siapa yang tidak kenal nama itu. Sintua yang kini masuk islam. Ya, hampir semua orang di desanya bergembira karena Sintua kaya itu masuk Islam, dan setahun kemudian langsung naik haji. Tapi dirinya tidak. Biasa saja. Ia hanya merasa cukup mengucapkan hamdalah mendengar ayah Roger itu ber-syahadat. Meski ia tidak tahu persis motif keislamannya. Namun yang jelas mantan Sintua itu masuk islam menjelang pemilihan kepala desa berlangsung. Dan ternyata, setelah itu ia terpilih menjadi kepala desa. Tapi ia merasa tidak perlu melihat apa motifnya. Yang penting masuk islam dan ia mengucapkan hamdalah. Itu saja. Titik. Dan tidak ada perasaan apapun dalam hatinya. Gembira atau tidak, sama. Biasa saja.

Lalu Roger. Nama brengsek itu. Nama yang selalu menghidupkan bara kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia akan menyerahkan jiwa raganya pada manusia tengik itu, meskipun Roger katanya kini telah akrab dengan remaja mesjid di desa kelahirannya. Apakah ia terlalu berlebihan membenci Roger, ia tidak tahu. Yang jelas apapun yang akan dilakukan Roger tidak akan mengubah pandangannya. Roger itu tengik, bajingan yang paling bajingan di dunia ini. Titik! Entah kalau Tuhan menurunkan mukjizat pada Roger sehingga bisa mengubah pandangan hatinya atas dirinya.
Ia masih ingat, waktu kecil dulu, saat masih duduk di kelas empat SD, bagaimana Roger yang saat itu sudah kelas enam nyaris menggagahinya di kebun sekolah. Ia nyaris kehilangan kesuciannya. Untung ada penjaga sekolah yang menolong dan menyelamatannya. Dan kejahatan Roger itu tidak pernah ia lupakan seumur hidup. Kebenciannya pada Roger telah mendarah daging dan tak akan luntur meskipun Roger menjelma menjadi seorang nabi sekalipun. Itulah kebencian seorang perempuan pada lelaki yang telah mencoba berbuat kurang ajar dan merenggut kehormatannya.

Apalagi saat ia pulang ke Sidempuan dua tahun yang lalu, ia mendapatkan berita yang sangat menyakitkan. Ia berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Hesti. Namun Hesti tidak ada. Yang ia jumpai justru kisah tragis yang menimpa Hesti. Dari Bibi Hesti mengalirlah cerita yang membuat perih hatinya. Hesti kini menjual diri di Brastagi. Dan Rogerlah yang membuat Hesti melacur. Hesti dihamili Roger dengan iming-iming akan dinikahi dan dibuatkan rumah mewah. Ternyata Roger tak lain adalah serigala berkepala manusia, ia tidak mau bertanggungjawab setelah menodai Hesti. Keluarga Hesti tidak berani menggugat atas apa yang dilakukan roger. Mereka semua takut pada monster-monster yang berdiri di belakang bungsu Sintua itu. Untuk menutup aib, Hesti mengaborsi kandungannya. Ia membawa lari lukanya ke Brastagi dan mengobati lukanya dengan melacuran diri.

Kalau memang Roger kini telah masuk Islam dan bertaubat, tentunya yang pertama kali harus ia lakukan adalah memperlihatkan tangungjawabnya dengan mengentaskan Hesti dari lembah hitam itu. Ia tidak bisa membayangkan pedihnya luka Hesti, teman sebangkunya di SD yang manis dan lugu itu.

Jika ia pasrah mau menjadi istri Roger, apakah luka Hesti tidak akan semakin parah? Kepedihan hati Hesti mungkin bukan karena si bajingan itu berhasil memperistri perempuan berjilbab yang tak lain adalah teman setia Hesti sendiri. Tapi kepedihan Hesti mungkin lebih dikarenakan melihat betapa bodohnya seorang Niyala yang telah mengecap pendidikan tinggi di ibukota, bahkan tertinggi di kampungnya, sampai jatuh ke dalam pelukan makhluk tengik Roger. Dan yang menjadi ganjalan pedih dalam pikirannnya, apakah ayah dan kakaknya tidak tahu ini semua? Apakah mereka tidak tahu siapa Roger dan apa yang telah dilakukannya?

Ia masih bingung mencari dalang penyebab datangnya nestapa yang siap menerkamnya itu. Tiba-tiba ia merasa dirinyalah penyebabnya. Ya, dirinyalah penyebabnya. Kenapa ia mesti terlahir sebagai perempuan? Perempuan yang sering harus pasrah pada nasib. Dan kenapa ia harus berwajah cantik menawan, sehingga banyak serigala mengincarnya, termasuk Roger.

Pelan ia bangkit dan berdiri didepan cermin. Ia memandangi dirinya sendiri. Tiba-tiba bara amarahnya membucah dalam dada, “Tidak! Bajingan seperti Roger tidak berhak menyentuh Niyala!”
 
Namun pada saat yang sama bayangan ayahnya hadir dengan wajah tirus dan mata berkaca seolah berkata, “Tolong, merdekakan ayah Nak! Dan bukankah menikahi Roger itu dakwah? Jangan berprasangka buruk atas motif keislaman Roger dan ayahnya. Dengan menikahi Roger mungkin kamu berpeluang untuk mengislamkan banyak orang. Mereka kaya raya dan terpandang. Kau bisa berdakwah dengan baik di tanah kelahiranmu. Dan kau juga bisa membantu orang-orang kecil yang kesusahan.”
 
Pikirannya beku. Bibirnya kelu. Ubun-ubunnya bagaikan ditancap paku.

Namun tiba-tiba ia memberontak, “Bukankah dakwah adalah sumber cinta, Ayah!? Apakah menikah dengan selain Roger, menikah dengan lelaki yang lebih bersih dalam pandangannya, tidak juga dakwah!?”
 
Di pelupuk matanya ayahnya menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat berdosa telah berani membantah ayahnya. Apalagi tiba-tiba tadzkirah (nasihat untuk diingat) Ustadz Hasbiyallah terngiang di telinganya,

“Jalan dakwah tidak mudah dan mulus, jalan dakwah itu terjal penuh hambatan, penuh onak dan duri, badai sering datang menghadang. Berjalan di jalan dakwah memerlukan ketabahan dan pengorbanan yang besar!”
 
Ia terus tergugu sendirian di kamar, perang batinnya terus berkecamuk sampai alunan azan subuh terdengar mendayu-dayu.
DUA
SEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.

Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya. Seperti mereka, ribuan gadis yang tengah diperkosa para durjana. Biasanya Cuma merintih dan mengumpat dengan perasaan sedih tidak terkira. Tangan, kaki dan tubuh semua telah terkunci. Dunia gelap.

Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.

“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
 
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.

”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.
 
”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an. Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”
 
Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.

”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah sebaik-baik umur manusia.”

Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati secepatnya!”
 
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
 
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
 
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”

Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan.

Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu. ”Cinta sejati Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.

Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet. Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,

”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”
Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.

***

Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?

”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
 
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.
”Kemana Umi?”
”Ke bandara.”
”Ada apa?”
”Kakakmu Faiq pulang.”
”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.
”He eh. Kaget ya?”
”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”
”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”
”Kenapa Mi?”
”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”

Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.

Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.

”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”
”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”
 
”Diah yang mana Umi?”
”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”
”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”
”Iya.”
”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”
”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”
Alhamdulillah.”
”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”
”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”
”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”
“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”
 
Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.
 
“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”
Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”
”Benarkah Mi. Mana?”
Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.

“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”
“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”
”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”
”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”
 
Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,

”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.
Umi tidak mau kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.
Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.
”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”
Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,

”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggung jawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya".
 
Tangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya.
TIGA
KEPULANGAN Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan Al-qurannya saat mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam itu Umi memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim, semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum bangga anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara makan kakaknya yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, tanpa sendok.

“Entah kenapa, kalau makan semur ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak mantap kalau tidak langsung dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela makannya.

Usai makan mereka bertiga menuju ruang ke tamu. Meskipun tadi sore sudah berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq juga sudah banyak menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan Niyala masih ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq pun kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke Istambul, Turki. Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. Universitas Istambul. Makam Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain sebagainya.

“Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab sutera asli dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi.”
 
Niyala menerima jilbab berbatik emas khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana Kak? Bagus nggak?”
 
“Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan pandangan takjub.

“Dasar orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari yang turu dari surga Niyala. Cahaya pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan oleh mentari siang hari!” Sahut Faiq. Wajah Niyala merona mendengar pujian kakak angkatnya itu. Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga hilang. Namun entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang seperti menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji, meskipun dengan sedikit menggombal.

“Duhai, siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahayamu? Siapakah dia yang akan berbahagia mendapatkan kesucian jiwa ragamu? Duhai, alangkah bahagianya dia!” Sambung Faiq dengan senyum mengembang.

Umi pun tersenyum melihat polah puteranya yang beraksi seperti bintang sinetron kasmaran itu. Namun Niyala mendengarkan pujian terakhir kakaknya itu justru bagaikan disengat kalajengking. Seketika kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh, Ia teringat kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia teringat dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai mau jadi istrinya. Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh Faiq. Seketika Faiq tergagap.

"Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?” Tanyanya pelan.

Niyala mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. ”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa. Niyala tidak tersinggung. Niyala justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak berikan. Sangat bahagia sampai Niyala menangis.”
 
Alhamdulillah kalau begitu. Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu tidak gratis. Ada harganya.”
 
”Maksud kakak?”
 
”Kau harus membayar pujian kakak yang membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
 
”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga kakak senang?”
 
”Umi sudah membuatkan menu istimewanya. Kamu juga harus membuatkan menu istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga tahun kakak tidak merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok pagi sarapan dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
 
”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”
 
Mereka terus berbincang dan bercanda sampai larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh dari Faiq. Ada tas tangan yang bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin kristal dari Italia. Jilbab Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih gading yang modis. Dan kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.

”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq sambil tersenyum.

”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon istri kakak mana?” Tanya Niyala.

”Jangan kuatir. Kakak sudah mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
Umi tersenyum bahagia mendengar dialog itu. Dua anaknya memang telah dewasa dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa sangat bahagia menerima hadiah dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun Faiq pergi tidak pernah melupakan Umi dan dirinya..

Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang paling dekat langsung mengangkatnya.

”Hallo? Ya? Wa’alaikum salam. Oh Mas Herman. Dimana sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam delapan lah, iInsya Allah. Wa’alaikum salam!”
 
Mendengar suara Faiq menjawab telpon itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu pasti kakaknya. Dan dia menelpon minta dijemput. Ia merasa detik-detik kematiannya semakin dekat.
“Siapa Iq?” Tanya Umi.
Masya Allah Mi. Kebahagiaan kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Mereka tadi menelpon dari Bakauhuni. Nanti subuh mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam delapan sampai di pulau Gadung.”
 
“Baguslah kalau begitu. Memang itu yang kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan menyaksikan puterinya di wisuda jadi dokter. Kalau begitu kita istirahat dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil bangkit dari duduknya.

“Lha aku tidur dimana dong? Kamarku jadi kelas. Masak aku harus tidur di kelas? Bu guru harus bertanggung jawab dong!” Rajuk Faiq pada Niyala yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala menundukkan kepala seolah tidak mendengar gurauan Faiq.

”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.

Niyala masih menunduk diam. Faiq memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis berjilbab putih yang telah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Sepertinya ada sesuatu didalam diri Niyala. Ia mendekati Niyala dan berkata,

”Kok diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang tamu saja. Jangan sedih, santai saja!”
 
Niyala mengangkat mukanya dan memandang kakaknya dengan senyum yang ia paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak ikhlas. Sudahlah, kakak tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat istirahat yang nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang nyaman seperti sedia kala.”
 
Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Umi sudah merebahkan badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala rebah disampingnya, namun matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua. Sementara Faiq memasang jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung terlelap.

***

Air mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya menjadi istri Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh hutang-hutangnya. Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Juga istri yang berbakti pada suaminya. Istri yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang pada suaminya.

Apa jadinya kalau dirinya sampai menjadi istri si bangsat Roger itu. Ia tidak bisa membayangkan jika hidup dalam bara neraka selama hayatnya. Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah memuncak pekatnya, tak lama lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan ini adalah puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah baru tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang paling mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam ketidakberdayaan menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi yang mengerikan, bagaikan seekor domba yang sedang sekarat dalam belitan ular Phyton yang kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya telah kehilangan segalanya. Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.

Ia takut sekali hal itu akan terjadi. Ia takut sekali akan kedatangan ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan ayahnya. Entah kenapa kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang algojo yang akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya ke Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu yang lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Maha Penolong, tolonglah aku)".
Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh hati yang mendengarnya. Setelah empat tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya itu semakin indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap malam bisa tahajjud bersama. Menangis bersama di hadapan Allah. Lalu anakmu sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harun wangi kesturi. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Bantalnya basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Alangkah malangnya jika menjadi istri Roger yang pernah jadi mucikari itu, yang mungkin sampai sekarang masih jadi mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat malang jika rumahku pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya. Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan daging para pezina. Na’udzubillah.

Suara Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk memakai mukena Umi. Lantas mengambil sajadah dan menggelar didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan penuh khusyuk.Faiq selesai membaca surat An-nuur. Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam :

Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif ‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa saa’at mustaqarraw wamuqaama! (”Dan orang-orang yang berkata ’Ya Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari kami, seungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”)

Ia mengulang-ngulang ayat itu dan menangis tersedu-sedu. Niyala juga terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan hati. Faiq meneruskan bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika sampai pada ayat tujuh puluh empat :
Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama (”Dan orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”)

Faiq membacanya dengan penuh pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek. Dan terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis makna ayat yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya tersengal-sengal. Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh perasaannya. Faiq meneruskan perasaannya. Begitu selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud dengan air mata berderai. Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima puluh ayat. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya tersedu-sedu. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Ternyata adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai munajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus,
“Dik Niya!”
 
“Ya Kak!” Jawabnya dengan suara bergetar.
“Masih mau makmum?”
“Insya Allah.”
“Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”
Faiq takbiratul Ikhram. Niyala mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang seperti tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah berdoa sesaat, faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis di atas sajadahnya.

***

Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan,
”Ini adalah hari-hari bahagia bagi Umi. Puteraku Faiq sudah selesai S2nya di London dan puteriku Niyala besok pagi, InsyaAllah akan diwisuda. Di hari yang penuh kebahagiaan ini Umi ingin membicarakan hal penting pada kalian.”
“Apa itu Umi?” tanya Faiq.
”Faiq, apakah kau tahu kenapa kau kuminta pulang?”
”Pasti untuk melihat wisuda Dik Niyala. Iya kan Mi?”
”Ada yang lebih penting dari itu.”
”Apa itu Mi?”
Umi lalu menceritakan masalah Diah panjang lebar. Setelah dianggap jelas lalu Umi bertanya, ”Bagaimana pendapatmu Anakku? Apakah kau bisa menerima Diah sebagai pendampingmu?”
 
Faiq terdiam sesaat lalu dengan menundukkan kepala ia menjawab, ”Ananda ikut Umi. Jika menurut Umi baik maka menurut Ananda juga baik. Yang paling penting bagi Ananda adalah ridha Umi.”
 
Umi meneteskan air mata.
“Aku bahagia sekali mendengar jawabanmu, Anakku. Tiga hari lagi Tante Astrid dan Diah akan dolan kemari. Untuk selanjutnya nanti bisa dibicarakan bersama dengan lebih matang. Yang kedua ini masalah Niyala.” 
”Ada apa dengan aku Umi?” Tanya Niyala sedikit kaget.
”Begini. Kau sudah Umi anggap seperti anakku sendiri. Dan kau sudah bisa mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau menemani Umi di rumah ini sampai akhir hayat Umi. Kau nanti bisa buka praktek di rumah ini. Kaulah yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau Niyala?”
 
Niyala terhenyak, “Insya Allah. Jika Allah menghendaki dan jika Kak Faiq mengizinkan.”
“Bagaimana Faiq? Rumah dan tanah sepetak ini memang hakmu. Kaulah ahli waris ayahmu. Jika nanti ditempati Niyala bagaimana, apakah kau ikhlas?”
 
“Aduh Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang paling baik menurut Umi, yang paling membahagiakan Umi, Ananda akan patuhi dan Ananda penuhi. Ananda ikhlas lahir batin. Niyala bukan orang lain lagi.”
 
“Alhamdulillah. Kalau begitu masalahnya selesai.”
 
Setelah itu Niyala ke dapur untuk membuatkan nasi goreng. Sementara Faiq mengutak-atik laptopnya. Tak lama kemudian sarapan siap. Mereka bertiga menyantapnya dengan santai. Berulang kali Faiq memuji kehebatan Niyala membuat nasi goreng. Ia sampai tambah tiga kali. Hati Niyala senang melihat kakaknya makan masakannya dengan begitu rakusnya. Usai sarapan Faiq dan Niyala meluncur dengan taksi ke Pulo Gadung.

Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya. Mukanya tampak begitu pucat dan sedih. Sebelum sampai di Pulo Gadung, Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut dengan perasaan bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada Niyala? Firasatnya menangkap sesuatu telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis bahagia.
“Niyala, kakak merasa kau sedang menyimpan masalah besar yang kau tidak kuat menanggungnya. Kau telah menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis sedih tapi kau tidak mau mangakuinya.”
 
Niyala diam. Ia sesunggukan. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus berkata apa pada orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya.

“Kalau kau masih menganggap kakak sebagai orang lain ya pendamlah masalahmu itu. Karena kau tidak lagi percaya bahwa kakak bisa membantumu atau setidaknya meringankan bebanmu. Kakak ingin kau bahagia dan tidak sedih, sebab Umi sangat ingin kau bahagia. Tapi kalau kau tidak memberikan kesempatan pada kakak untuk membantumu, kakak bisa berbuat apa?”
 
Kata-kata Fiaq mulai masuk ke dalam hati Niyala. Gadis berjilbab biru pun merasa tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran ini sendirian. Akhirnya ia buka suara,

”Niyala punya masalah serius dan Niyala tidak kuasa lagi menanggungnya. Niyala juga belum menemukan jalan keluar yang tepat. Niyala sangat sedih, sebab ini menyangkut hidup mati Niyala.”
 
”Masalah apakah itu? Apakah Umi benar-benar tidak tahu?”
”Niyala tidak ingin Umi tahu. Pengorbanan Umi sudah terlalu besar pada Niyala. Niyala tidak mau lagi menyusahkan beliau.”
”Apakah kakak boleh tau masalahnya?”
”Dengan satu syarat.”
”Apa itu?”
”Tidak memberitahukan masalah ini pada Umi.”
”Baiklah.”
Niyala lalu menceritakan perihal surat dari ayahnya secara terperinci. Juga tentang Haji Cosmas dan anak bungsunya Roger. Siapa mereka dan apa yang telah mereka perbuat. Lalu dengan terisak Niyala meluapkan segala kecemasan, kekuatiran, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa memberikan keputusan yang tepat. Ia tidak mau jadi istri Roger, namun juga tidak mau menjadi anak durhaka. Faiq mendengarkan segala penuturan adiknya dengan mata berkaca-kaca. Adiknya dalam kesulitan yang serius.

”Selepas shalat tahajjud tadi malam, terlintas dalam benak Niyala sebuah solusi yang mungkin bisa mengatasi masalah ini. Namun itu perlu bantuan kakak.” kata Niyala.
”Solusinya bagaimana?”
 
”Niyala sudah menemukan cara untuk mendapatkan uang delapan puluh juta. Namun perlu waktu. Dan Niyala perlu bantuan kakak untuk menolak lamaran Pak Cosmas. Kalau Niyala sendiri yang ngomongnya, Niyala tidak sampai hati. Niyala minta tolong pada kakak agar bersedia menjelaskan pada ayah, bahwa saya tidak mungkin menikah dengan Roger.”
”Terus, kalau ditanya alasannya kenapa bagaimana?”
 
”Bilang saja Niyala sudah punya calon sendiri. Pokoknya dengan bahasa yang sebijaksana mungkin dan jangan sampai ayah terluka. Juga jelaskan kalau Niyala akan mengusahakan pelunasan uang delapan puluh juta itu sebelum tanggal jatuh tempo.”
 
h”Kalau boleh kakak ingin tanya bagaimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
”Terus terang kak, Niyala belum tahu. Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga. Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala tidak mau menjadi pikiran Umi atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha sebaik-baiknya.”
 
”Tapi kakak tidak bisa berbohong, Adikku.”
 
”Maksud kakak?”
 
”Tidak mungkin kakak mengatakan kau punya calon, padahal selama ini kakak tahu kau tidak punya calon. Apakah kau benar-benar punya calon tanpa sepengetahuan kakak?”
”Bohong untuk kebaikan kan tidak apa-apa?”
”Maaf kakak tidak bisa Dik.”
”Tolonglah kak, sekali ini.”
”Soalnya ini nanti bohongnya akan banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya calonnya siapa? Orang mana? Dan lain sebagainya. Ayo bagaimana?”
”Pokoknya terserah kakak bagaimana jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah kakak rela Niyala menjadi istri seorang mucikari?”
”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi ada dua syaratnya, bagaimana?”
”Apa itu?”
”Pertama, kau harus mencucikan pakaian kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti malam?”
 
”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak? Na’udzubillah. Apakah kakak lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit kakak?”
 
”Kakak tidak lupa. Nanti kakak pakai jaket, sehingga tanganmu tidak akan menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya nanti malam di ruang tamu sambil ngobrol santai bersama Umi, ayamu dan kakakmu. Kan tidak akan ada bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga tidak mau menolongmu!”
 
Niyala menggeleng-geleng kepala. Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat terakhir kali ia memijit kakaknya saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma mijit kakinya yang terkilir saat main bola dengan para remaja masjid. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan kakaknya itu.

”Tapi Cuma sekali itu kan?”
Faiq menganggukkan kepala.
”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”
”Okey, kalau begitu nanti kakak akan atur bahasanya dan lain sebagainya dengan sebaik-baiknya. Sekarang tersenyumlah, jangan sedih begitu.”
 
Niyala tersenyum. Faiq menatap wajah adik angkatnya dengan seksama. Niyala tersipu. ”Yuk kita lanjutkan perjalanan. Ayahmu sudah menunggu di masjid terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat. Ia dan Niyala lalu naik taksi dan meluncur ke Pulo Gadung.
EMPAT
KEDATANGAN Pak Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak bercerita tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang almarhumah istrinya yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan Niyala.

”Niyala sangat halus perasaannya, sabar, tekun, penuh pengertian dan tutur bahasanya membuat siapa yang diajak bicara akan menyukainya. Persis seperti almurhamah ibunya.” ucap Umi mengenang.

”Yah, sifat almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak pernah luntur mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada namun saya tidak bisa melupakannya. Dan saya pun tidak pernah berpikir sampai sekarang untuk mencari penggantinya.” Seloroh pak Rusli Hasibuan dengan mata berkaca-kaca.

Diam-diam Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah ibunya.

Perbincangan yang bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna menjadi ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan menyegarkan suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya selama belajar di Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah di Perancis, Italia, Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat senang medengarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli meminta waktu pada Umi untuk melakukan perbincangan serius usai makan malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.Dan malam itu. Di ruang makan tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk dekat pintu ruang tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping kirinya Pak Rusli. Sementara Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala sedangkan Herman duduk di samping kiri Pak Rusli. Mereka semua telah selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan menikmati pertemuan di meja makan itu, kecuali Niyala. Ia sangat tegang. Keringat dinginnya telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yan ditakutinya itu.

”Pak Rusli, katanya ada yang mau diperbincangkan. Silahkan mumpung terlihat masih segar dan masih sore.” Umi mengawali pembicaraan.

”Iya ini ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena ini menyangkut dua keluarga. Yaitu keluarga saya dan keluarga Umi maka kita perlu bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”
 
”Benar Umi. Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala layaknya anak kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas segala kebaikan Umi. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan kami ingin mengajak Niyala pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda. Dia sangat dibutuhkan masyarakat sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya. Apalagi kebetulan sekali ada seorang tokoh masyarakat yang melamar Niyala untuk anak lelakinya. Dan terus terang saya sangat susah untuk menolak lamaran itu. Kami yakin ini masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat melepas Niyala. Namun kami dengan segala hormat mohon kebijaksanaan Umi.”
 
Mendengar permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati Umi bergetar. Setelah sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu apakah harus ia melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia sudah terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang sehalus dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan rumah ini pada Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang jika mengikuti isi wasiat dari almarhumah ibu kandung Niyala maka tugas Umi sudah selesai begitu Niyala telah tumbuh dewasa menjadi gadis yang salehah. Tak terasa ada yang meleleh dari sudut mata Umi. Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,

“Tidak mudah memang untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk ditinggal oleh sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan wasiat almarhumah ibundanya Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak bisa menahan atau meminta Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Maka yang paling bijaksana menurutku ialah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Niyala. Apakah dia akan tetap tinggal di sini atau tinggal di tanah kelahirannya, Sidempuan. Juga masalah pasangan hidupnya, Niyalalah yang paling berhak memilih.”
 
“Umi sungguh bijaksana. Anakku Niyala kau sudah dengar sendiri apa yang dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang memutuskan, dimana kau akan tinggal dan mengabdikan diri?”
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Suasana menjadi hening beberapa saat lamanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak karuan kacaunya.

“Ayolah Anakku Niyala. Bicaralah. Kau bebas menentukan pilihanmu. Seandainya pun kau memilih Sidempuan Umi ikhlas kok. Umi tetap menganggapmu sebagai anak Umi. Umi tidak akan berubah. Kau jangan bimbang menentukan pilihan yang kau anggap paling membuat dirimu bahagia. Di Sidempuan sana kau akan berkumpul dengan keluarga besarmu yang sangat mencintaimu.” Ujar Umi memecah keheningan sambil mengusap kepala Niyala.

Mata Niyala berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki kanannya dengan halus menyepak kaki kiri Faiq. Ia ingin Faiq angkat bicara. Namun Faiq tetap diam tak bergeming dan tak bersuara. Rasanya Niyala ingin menangis. Ia sudah tidak tahan. Bibirnya benar-benar kelu dan tak mungkin bisa bicara dengan baik. Ia menurunkan tangan kanannya dan mencubit paha Faiq dengan sekeras-kerasnya. Tak ayal Faiq tersentak namun ia berusaha menahan rasa sakitnya. Faiq berdehem. Niyala melepaskan cubitannya.

”Boleh ananda bicara Pak Rusli dan Umi?”
 
”O silahkan Nak Faiq. Silahkan. Kita memang sedang bermusyawarah.” Sahut Pak Rusli, sedangkan Umi diam saja.
 
”Begini, ananda bicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini sesungguhnya pernah diutarakan Niyala pada ananda. Baik selama ananda ada di rumah, maupun selama ananda di luar negeri. Kami tak pernah berhenti berkomunikasi. Sebenarnya Niyala ingin sekali untuk pulang ke kampung halamannya. Niyala sangat mencintai keluarga besarnya dan tanah kelahirannya. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan Umi ketahui bahwa Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali berterus terang pada saya, baik secara langsung maupun melalui surat, bahwa Niyala sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang ia cintai mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak memperistri Niyala. Cinta keduanya telah terjalin tak kurang dari sebelas tahun. Tepatnya sejak Niyala masuk SMP. Apakah mungkin kiranya cinta yang telah terjalin selama sebelas tahun lamanya ini akan diputus begitu saja? Siapakah orang yang tega memutuskannya? Dan saya tahu persis bahwa Niyala sangat menjaga kesucian dirinya dan kesucian cintanya. Ia tidak melakukan maksiat dengan cintanya. Menurut ananda, tindakan yang paling bijak diambil oleh Pak Rusli dan Umi adalah merestui dan menyegerakan pernikahan adik Niyala dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dan saya berani menjamin bahwa orang yang dicintainya dan mencintai Niyala akan berusaha sekuat tenaganya untuk membahagiakan Niyala. Sebab saya tahu cinta mereka berdua sangat tulus. Ini menurut pendapat ananda.”
 
Muka pak Rusli pucat. Umi menangkap perubahan itu. Umi kuatir Pak Rusli kecewa dengan dirinya. Karena dirinya tidak bisa mengasuh Niyala. Bagaimana mungkin ia membiarkan anak SMP menjalin cinta. Umi sendiri kaget dengan penjelasan Faiq. Ia belum yakin dengan apa yang diutarakan anaknya itu. Dengan nada yang halus, ia bertanya pada Niyala,
 
”Anakku Niyala, benarkah apa yang dikatakan oleh kakakmu Faiq?” Niyala mengangguk.
 Mata Umi berkaca-kaca. Dengan terisak ia berkata, ”Sebenarnya Umi sangat kecewa mengetahui kenyataan ini. Kenapa masalah sepenting ini kau sembunyikan dari Umi? Apakah kau tidak percaya pada Umi? Selama ini Umi tidak pernah menyembunyikan sesuatu darimu Anakku. Umi sangat mempercayaimu. Apakah masih kurang bijaksana Umi mengasuhmu, Anakku? Sekarang coba katakanlah pada Umi siapa lelaki yang kau cintai sejak SMP sampai saat ini itu? Siapakah dia Anakku?”
 
Niyala bingung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa-apa. Permasalahannya menjadi begitu rumit. Ia benar-benar tidak punya jawaban. Mukanya pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengalir. Kaki kanannya menyodok kaki kiri Faiq. Sesaat lamanya Umi menunggu jawaban dari mulut Niyala tapi tidak juga keluar.

”Anakku jawablah! Siapa dia? Masalah ini tidak akan tuntas jika Umi dan Ayahmu tidak tahu siapa orang yang kau cintai itu. Jika lelaki itu memang pilihanmu, maka Umi akan merestuinya. Katakanlah siapa dia?”
 
Niyala tidak menjawab, ia kembali mencubit paha Faiq. Ia minta kakak angkatnya itu harus bicara. Sebab ini semua yang membuat skenarionya dia. Jadi dia yang harus menuntaskannya.

”Begini Umi. Niyala sangat pemalu untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, biar ananda saja yang menjelaskan siapa orang yang di cintai Niyala. Namun sebelumnya ananda minta Umi tidak marah bila mendengar namanya. Apakah Umi bersedia berjanji tidak akan marah? Sebab ananda takut Umi akan marah.” kata Faiq.
”Baiklah, Umi berjanji tidak akan marah.”
 
”Nama lengkap lelaki yang dicintai Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam.”
 
”Apa!? Jadi yang dicintai dan mencintai Niyala itu kau sendiri Faiq?”
 
Semua mata tertuju pada Faiq, termasuk mata Niyala. Semuanya terkejut dengan pengakuan Faiq itu. Niyala sendiri tidak habis pikir, kakaknya sampai nekad bersandiwara seperti itu. Ia sama sekali tidak mengira kakak angkatnya akan segila itu membelanya.
”Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya.”
 
”Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku tahu kau mencintai Niyala, tapi itu cinta seorang kakak pada adiknya. Itu bukan cinta sepasang kekasih.”
”Tidak Umi. Ananda mencintai adik Niyala seperti seorang kakak pada adiknya juga sekaligus seperti Yusuf mencintai Zulaikha, atau Romeo mencintai Juliet. Ini ananda berkata dengan sejujurnya dan sebenar-benarnya. Kalau Umi tidak percaya, silahkan Umi bertanya sendiri pada Dik Niyala.”
”Benarkah yang dikatakan kakakmu Niyala?”
Untuk kali ini Niyala membuka suara,

”Benar Umi. Apakah Umi lupa, sebenarnya kami bukan kakak dan adik. Dan kami bukan mahram. Kami saling mencintai, namun kami tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat menodai kesucian diri, hati dan jiwa. Kami telah menitipkan rasa cinta kami kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dan biarlah malam ini menjadi malam yang menentukan, apakah cinta suci kami akan berlanjut ataukah akan terputus ditengah jalan.”
 
”Bagaimana ini Umi? Saya tidak mengerti apa yang terjadi.” Tukas Pak Rusli bingung berbaur cemas.
”Saya juga seperti dalam mimpi Pak. Bagaimana mungkin saya yang sering tidur satu kasur dengan Niyala sampai tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.” Jawab Umi.
Niyala sendiri tidak akan tahu seperti apa akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang jelas ia sedikit merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. Untuk sementara ia merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir ini menghantuinya.
”Pak Rusli, yang terjadi adalah ananda mencintai Niyala puteri Bapak. Dan Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon Bapak berkenan merestui kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi tidak bermimpi. Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.

Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam saja akhirnya berbicara juga,
”Sebaiknya ayah tidak usah pikir panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka berdua. Adik Faiq ini jelas jauh lebih baik daripada Si Roger puteranya Pak Cosmas itu. Yang paling penting adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu jelas ada di depan mata. Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan memahami. Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa tidak Dik Niyala nanti.”
 
”Saya pasrah. Saya ikut pada kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.
”Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.

”Umi, ananda mohon terimalah kenyataan ini. Apakah saling mencintai itu dosa? Perasaan cinta itu datang dengan sendirinya. Masuk begitu saja kedalam hati kami. Kami berdua saling mencintai Umi. Apakah Umi rela kami hidup menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana akhir-akhir ini Dik Niyala sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir akan kehilangan orang yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan menghormati Umi sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab orang yang dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda yakin seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius. Niyala terkesima melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas mengimbangi,

”Saya sudah bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Kak Faiq. Biarlah cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa sampai mati. Bukankah Umi telah mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
 
Kalimat yang diucapkan Niyala dengan tegas ini membuat perempuan separuh baya itu tersentak. Ia sadar, yang tengah ia hadapi kini adalah gelombang cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak. Jika tidak, maka penyesalan yang akan ia petik.

”Kalau memang sudah demikian bulat dan kuat cinta kalian, Umi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merestui kalian. Umi sangat mencintai kalian berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan ini, namun Umi tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan tetap hidup satu atap dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan. Kalau begitu, malam ini juga kita musyawarahkan hal-hal mengenai pelaksanaan pernikahan kalian.”
 
”Mereka berdua adalah orang-orang yang terpelajar. Pasti mereka telah membuat rencana yang matang. Jadi kita serahkan saja sepenuhnya masalah pelaksanaan pernikahan mereka pada mereka. Bukankah begitu ayah?” sahut Herman.

Pak Rusli mengangguk pasrah. Perasaan bahagia dan sedih bercampur baur dalam hatinya. Bahagia karena puterinya sebentar lagi akan menjadi dokter dan memiliki seorang suami yang baik dan berpendidikan tinggi. Sedih jika mengingat hutangnya delapan puluh juta pada Pak Cosmas dan ia akan bilang apa pada Pak Cosmas. Padahal seluruh ongkos ke Jakarta ini pun diberi oleh Pak Cosmas.

”Apa kalian sudah punya rencana?” Tanya Umi dengan memandang Niyala dan Faiq bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa. Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang berusaha menyelamatkan dirinya.

”Alhamdulillah Umi, kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi, Pak Rusli dan Mas Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan melangsungkan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati Niyala tiba-tiba berdesir mendengar akad nikah secepatnya. Apakah kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar sedang bebicara dengan siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga melirik Niyala. Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya berpikir, pokoknya jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab adalah kakaknya, Faiq.
”Kapan rencana kalian mau akad nikah?” Tanya Umi.
”Secepatnya.” Sahut faiq.
”Ya, pastinya kapan?”
”Sebelum Ananda menjawab waktunya. Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali, apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman benar-benar merestui pernikahan kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami penuh berkah, berlimpah doa dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika ada satu zarrah rasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah selamanya.”
”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”
 
”Bapak juga ikhlas lahir batin.”
 
”Saya juga ikhlas adik perempuanku satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”
 
Alhamdulillah. Kami sangat bahagia mendengarnya. Dik Niyala, kau sudah mantap kan dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahir batin kan Dik?” Kata Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap meyakinkan. Ia menatap wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main apa sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata Faiq yang jernih bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.

”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu?”
 
Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.

”Ini sungguh dan serius. Kita akan menikah secepatnya. Dan kita akan tetap tinggal bersama di rumah mungil ini dengan penuh cinta. Kita akan mereda masa depan bersama. Dan akan membesarkan anak-anak kita nanti bersama. Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”
 
Tangis Niyala meledak, dengan suara terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”
 
Ruangan itu diselimuti rasa haru yang luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia menangis seolah merasakan kebahagiaan Niyala. Cintanya yang terpendam sebelas tahun yang masih dalam impian akan menjadi kenyataan. Umi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga menangis. Ia menangis karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya seperti itu karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis karena masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan kakaknya Faiq itu cuma sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya sementara. Ataukah Faiq bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai istrinya selamanya. Sebab ia merasa masalahnya sudah tidak sekedar main-main lagi. Kalaulah main-main, apakah permainan ini tidak akan menyakitkan semuanya?. Menyakitkan Umi, ayahnya dan Mas Herman.
”Kak Faiq, jelaskan padaku...apa arti semua ini? Kakak sedang bersandiwara bukan?” Lanjut Niyala dengan terisak dan air mata berkucuran.
”Adikku Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak sungguh-sungguh hendak menikahimu secepatnya. Kakak tidak mungkin bisa hidup tanpa dirimu disamping kakak. Kakak sangat mencintaimu. Dan kakak tidak pernah dan tidak akan pernah mencintai wanita selain Umi dan dirimu. Kakak ingin kau menjadi istri kakak, menjadi pendamping kakak mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridha Ilahi. Dan kakak ingin kaulah yang melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak kakak. Kakak berjanji akan membawamu ke istana kebahagiaan semampu kakak. Ini bukan sandiwara lagi. Ini serius. Apakah kau ragu untuk melangkah ke pernikahan, mengarungi hidup dengan kakak, Adikku?” Kali ini Faiq menjawab dengan segenap perasaannya. Kedua matanya basah.

Mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Faiq dengan penuh kesungguhan itu, Niyala merasa ada hawa dingin yang turun dari langit. Hawa dingin itu merasuk di ubun-ubunnya lalu menjalar ke seluruh tubuhnya. Hatinya merasakan kesejukan yang luar biasa. Tetesan air matanya semakin deras.

”Adik ikut kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak.” Pelan Niyala sambil menunduk. Perasaan haru, bahagia, cinta, optimis dan surprise membaur jadi satu dan berpendar-pendar dalam dadanya. Ia belum pernah merasakan perasaan seindah itu sebelumnya.
”Semuanya sudah terang. Jadi dalam rencanamu, kapan akadnya akan dilangsungkan, Anakku?", Tanya Umi sambil memandang wajah Faiq lekat-lekat.
”Ananda berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah akan kami laksanakan malam ini juga!”
 
Tak ayal Niyala, Umi, Pak Rusli dan Herman kaget mendengarnya.
”Ini bukan lelucon Anakku!” Seru Umi.

”Ananda serius, Umi. Ananda tidak main-main. Untuk sebuah acara sakral yang cuma sekali dilaksanakan dalam hidup, apa ananda akan main-main? Ananda sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ananda sudah mengontak KUA dan membereskan administrasinya. Ananda juga sudah mengundang tokoh-tokoh masyarakat, remaja masjid dan masyarakat sekitar sini. Ananda sudah mengundang Pak Kiai Imam Jazuli. Ananda juga sudah mempersiapkan katering dan handycamnya. Semua sudah ananda persiapkan di Aula Islamic Centre, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan dimulai. Orang-orang sudah menunggu disana. Dua puluh menit lagi akan ada dua mobil datang kemari. Sekarang sebaiknya Niyala, Umi, Pak Rusli, dan Mas Herman bersiap-siap. Adik Niyala, kau cucilah mukamu. Berdandanlah yang anggun dan jangan berlebihan, namun jangan juga sampai ada guratan kesedihan di wajahmu. Kakak ingin kau bahagia. Gaun pengantin khas Turki yang kakak berikan tadi pagi pakailah. Sementara kakak juga akan bersiap-siap. Kalau begitu, kita tutup dulu musyawarah ini dengan doa kafaratul majlis. Lalu kita semua bersiap-siap.”
 
Setelah ditutup dengan doa. Empat orang itu sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah acara sakral yang tidak terduga-duga.

***
Niyala membasuh wajahnya dengan lotion pembersih wajah. Lalu mengambil air wudhu. Di kamarnya ia menyempatkan untuk shalat dua rakaat meminta ketenangan dan kebahagiaan. Setelah itu ia berdandan seperti yang diminta kakak angkat yang sangat ia kagumi dan ia cintai, yang kini tiba-tiba menjadi calon suaminya. Ia memakai gaun pengantin khas Turki. Kepalanya ditutupi jilbab sutera Turki. Ia berdandan dengan cepat namun hasilnya tetap luar biasa. Tanpa berdandan pun Niyala sudah cantik mempesona. Di luar terdengar suara derum mobil.

Faiq keluar dari kamarnya dengan pakaian biru telur yang menawan. Peci hitam bersulam emas membuat dia semakin tampan. Lalu Niyala keluar dati kamarnya. Keduanya berpandangan sesat lalu saling menunduk. Hati keduanya berbunga-bunga. Baru kali ini mereka berpandangan namun disertai perasaan sangat indah yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tak lama kemudian Umi, Pak Rusli dan Herman sudah siap. Merekapun meluncur menuju Islamic Centre. Di sana semuanya telah siap. Lampu hias menyala gemerlapan. Para tetangga, para pemuda dan tokkoh-tokoh masyarakat sudah memenuhi ruangan.

Malam itu, akad nikah antara Niyala Binti Rusli Hasibuan dan Muhammad Faiq Bin Saiful Anam berlangsung dengan penuh khidmat, dan dalam acara yang sakral itu Faiq kembali memberikan kejutan yang membuat Niyala dan ayahnya juga seluruh yang hadir terkesima. Faiq memberikan mahar sebuah mushaf cantik yang ia beli di Cairo, uang tunai senilai 85 juta rupiah dan hafalan surat Ar-Rahman.

Saat Faiq membaca surat Ar-Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan suaranya mampu membuat semua yang hadir meitikkan air mata. Setiap kali Faiq melantunkan ayat ”Fa bi ayyi aalai Rabbikuma tukadzdzibaan (artinya :”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?”). Dengan diiringi isak tangisnya, semua yang hadir ikut terisak menangis. Dan diantara sekian banyak orang menangis, yang paling dalam tangisannya sampai kerelung jiwa adalah Niyala. Pintu hatinya terasa terbuka bagaikan melihat keagungan Tuhannya. Saat itulah ia merasakan bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Ia merasakan betapa agungnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.

Setelah khutbah nikah dan do’a, acara dilanjutkan dengan pesta walimah yang cukup meriah. Grup rebana dan shalawat remaja mesjid tampil memukau. Seorang anak TPA berjilbab merah jambu dan berpakaian merah jambu membacakan sebuah puisi berjudul ’Bidadariku’. Suaranya yang jernih dan merdu mampu menyihir seluruh manusia yang ada dalam aula itu. Pesan puisi itu tersampaikan dengan dahsyat :

”Mas kawin untuk bidadariku
Adalah sekuntum bunga melati
Yang aku petik dari sujud sembahyangku
Setiap hari
Buah cintaku dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan
Yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiap zaman
Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad yang tidak mengenal Tuhan
Abad-abad hilang naluri kemanusiaan
Abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia membela kebenaran
Dan keadilan
Estafet perjuangan kami berelanjutan
Sambung-menyambung pada setiap generasi
Tak berpenghabisan dan terus bergerak
Mengaliri ladang-ladang peradaban
Seperti cintaku pada bidadariku
Yang terus tumbuh semakin subur
Dari hari ke hari
Laksana kalimat suci
Di hati para salehin
Di hati para Nabi”

Niyala sangat tersentuh mendengar puisi itu. Ia berkata dalam hati, ’Oh puisi yang indah! Siapakah dia gerangan yang mencintai istrinya dengan begitu indah dan sucinya ? Siapakah dia yang cintanya pada istrinya yang tak berpenghabisan, yang terus tumbuh semakin subur, dari hari ke hari, laksana kalimat-kalimat suci, di hati para salehin, di hati para nabi ? Siapakah dia yang menulis puisi itu ? Kenapa anak itu tidak lebih dahulu memperkenalkan siapakah pembuatnya?”

’Tiga detik kemudian pertanyaan Niyala terjawab. Usai membaca puisi gadis berjilbab merah jambu itu berkata,

”Bapak-bapak, ibu-ibu dan hadirin sekalian yang dirahmati Allah. Puisi ini ditulis dengan segenap tetesan jiwa oleh kakak Muhammad Faiq saat masih kuliah di Mesir untuk seorang bidadari impiannya. Yang saat itu dia belum tahu siapa bidadrinya? Dan ternyata bidadarinya yang sangat dicintainya adalah Mbak Niyala yang cantik jelita!”
Tak ayal, tepuk tangan langsung bergemuruh membahana. Beberapa ibu tampak mengusap ujung matanya dengan sapu tangan. Hati Niyala berdesir kencang. Ia merasakan kesejukan luar biasa. Tiada henti-hentinya mendengdangkan hamdalah. Entah dari mana datangnya tiba-tiba ia teringat potongan sajak ”mendalam” Armin Pane :

Kasih lari mendatang,
Bersua pantai tujuan sayang.
Memecah menghebat gembira,
Melama, damai, kasih mendalam.

* * *

Acara akad nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit. Setelah semua hadirin memberi ucapan selamat, dua pengantin dan keluarganya kembali ke rumah. Mereka tidak langsung istirahat. Tapi berbincang-bincang di ruang tamu dengan wajah berhias bahagia. Niyala masih mengenakan gaun pengantinnya. Dan Faiq belum mengganti pakaiannya.

”Faiq anakku, Umi sangat bangga padamu, Nak. Kalau boleh ibu tanya dari mana kau dapatkan biaya sebanayak itu?”

Faiq yang duduk di sofa panjang di samping Niyala mengambil nafas panjang. Lalu menjawab,

”Anandalah yang semestinya bangga memiliki seorang ibu seperti Umi. Umilah yang berkorban dan pontang-panting mencarikan biaya agar ananda bisa kuliah ke Mesir. Kalau bukan karena umi, Faiq tidak akan menjadi seperti sekarang. Faiq juga tidak akan punya biaya sebanyak itu. Itu selalu mengajarkan agar ulet, sabar dan tidak menyerah. Dan itulah yang Faiq kerjakan. Umi juga sering mewanti-wanti agar Faiq hidup bersahaja dan hemat, itu juga yang Faiq kerjakan. Dulu Faiq pernah kirim uang beberapa ratus dolar pada Umi tapi Umi menginginkan agar Faiq menyimpannya untuk hari depan Faiq. Dan semua nasihat Umi Faiq indahkan. Alhamdulillah berkat do’a restu Umi, Ananda dapat beasiswa S2 di London. Beasiswa itu hanya cukup buat memenuhi kebutuhan ananda. Namun ananda bisa bekerja part time di sebuah toko. Gajinya ananda tabung. Setelah itu ananda mendapat tawaran untuk mengajar bahasa Arab di Islamic Centre. Ananda pun tinggal di sana jadi uang sewa apartemen bisa ananda tabung. Alhamdulillah dengan itu semua ananda bisa membiayai pernikahan ini. Dan saat ini ananda masih punya sisa tabungan sebesaar 15 ribu pounsterling. Insya Allah cukup untuk membiayai Dik Niyala untuk mengambil Spesialis.”
 
Bagaimana kau melakukan ini? Apakah telah benar-benar kau persiapkan jauh-jauh hari? Tanya Umi lagi.

”Tidak Umi semuanya faiq siapkan tadi pagi sepulang dari Pulo Gadung. Umi apa lupa, dulu kan Faiq Ketua Remaja Masjid dan Humas Karang Taruna. Jadi, semuanya mudah saja. Terus, kepala KUA nya itu kan teman satu bangku Faiq waktu SD. Yang jelas, semuanya alhamdulillah berjalan dengan baik. Namun, Faiq minta maaf pada Umi, Pak Rusli dan Mas Herman. Dalam musyawarah tadi Faiq telah berbohong. Faiq minta maaf.”
”Apa itu Anakku kalau boleh Umi tahu?”
 
”Faiq mengatakan telah menjalin cinta dengan Dik Niyala sejak SMP itu sebenarnya Faiq berbohong. Maafkan Faiq. Yang benar, sejak dulu Faiq menganggap Niyala seperti adik sendiri. Dan sebetulnya Faiq mulai merasa mencintai Dik Niya bukan sebagai adik adalah sejak tadi pagi. Sejak Umi mengungkapkan rasa tidak bisa berpisah dengan Dik Niya. Sejak Umi merasa tidak ada perempuan yang bisa memahami dan mencintai Umi melebihi Dik Niya. Sejak itulah Faiq meraba hati Faiq, ternyata Faiq juga berat berpisah dengan Dik Niya. Dan setelah Dik Niya minta pada Faiq untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, maka Faiq langsung mempersiapkan segalanya.”
 
Umi, Pak Rusli dan Herman manggut-manggut mendengar pengakuan Faiq. Mata mereka semua berkaca-kaca.

”Kalau kau Niya sejak kapan cintamu pada kakak angkatmu berubah menjadi cinta seorang gadis pada pemuda pujaannya?” celetuk Herman.

”Kalau dia kayaknya saat pertama kali lihat aku dulu, sejak masih ingusan,hehehe...” Serobot Faiq sambil tertawa renyah. Semua ikut tertawa kecuali Niyala.
”Ih, kakak nakal! Main tuduh sembarangan!” Sewot Niyala.

”Lalu sejak kapan?”
 
”Sejak musyawarah tadi. Sejak kakak meyakinkan pada Niya, bahwa kakak tidak sedang bersandiwara, tapi kakak bersungguh-sungguh. Sejak itulah rasa kagumku pada kakak berubah menjadi rasa cinta.”
 
Umi menitikkan air mata mengetahui kisah cinta dua anak yang disayanginya itu. Ia hanya bisa mengucapkan Subhanallah dalam hati.
”Emm...Nak Faiq, maharnya apa tidak terlalu besar?” Sahut Pak Rusli dengan mata basah dan tangan bergetar memegang tas kecil berisi uang tunai 85 juta rupiah.
”Masya Allah. Mahar itu tidak ada nilainya untuk seorang gadis shalehah seperti Niyala. Dunia seisi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang istri shalehah. Bagi Faiq, Dik Niyala tidak bisa dinilai dengan materi.”
 
Niyala menunduk dengan air mata kembali menetes mendengar perkataan suaminya. Ia merasa dirinya sangat dihargai dan dimuliakan. Hatinya tiada henti memuji keagungan Allah. Ia berjanji akan benar-benar menjadi istri yang shalehah untuknya dan akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.

”Apakah masih ada yang perlu dibicarakan? Saya capek sekali. Saya perlu istirahat.” Ucap Faiq.
”Memang sudah malam. Saatnya istirahat. Apalagi besok pagi kita ada acara menghadiri wisuda Niyala.”
 
Umi bangkit dari duduknya diikuti pak Rusli dan Herman. Faiq berbisik manja di telinga Niyala, ”Faiq malam ini tidur dimana Bu Dokter? Kamar Faiq ditempati ayah sama kakakmu. Masak Faiq harus tidur di ruang tamu? Bolehkah Faiq tidur di kamar Bu Dokter?”
Niyala tidak menjawab. Ia meraih kepala Faiq dan hendak menciumnya. Faiq meletakkan telunjuk tangan kanannya di depan bibirnya. ”Sst jangan disini”. Dengan gerakan cepat Faiq membopong Niyala ke kamar. Umi, Pak Rusli dan Herman menyaksikan itu dengan tersenyum geli.

Sampai di kamar, Faiq meletakkan Niyala dan mendudukkannya perlahan di sisi ranjang. Faiq mengamati wajah istrinya itu lekat-lekat. Maha suci Allah yang telah mengukir wajah seindah ini. Bisiknya dalam hati.
”Kakak capek?” Lirih Niyala
”He eh.”
”Mau dipijit?”
”He eh.”
”Kak, boleh Adik minta sesuatu?”
”Boleh.”
”Adik tahu kakak capek. Tapi adik minta, malam ini juga wisudalah adik menjadi seorang perempuan yang paling berbahagia di dunia, sebelum besok adik di wisuda menjadi sarjana Kedokteran.”
”Maksud Adik?”
Niyala mengerdipkan mata.
Faiq tersenyum dan berkata, ”Baiklah, kakak mengerti maksudmu. Tapi tolong kakak dipijitin dulu donk, biar segar. Kakak capek banget. Setelah segar, kita shalat bareng dua rakaat. Bermunajat kepada Allah yang telah memberikan nikmat maha agung kepada kita berdua. Barulah kakak akan mewisudamu dan membawamu ke taman surga.”
”Tapi nanti saat shalat jangan baca surat yang panjang ya kak? Membaca surat yang pendek saja.”
”Lho justru nanti rakaat pertama kakak mau membaca Al-Baqarah sampai selesai. Rakaat kedua mau membaca Ali-Imran.”
“Jangan kak!” Rengek Niyala manja.
“Kenapa?”
“Ah kakak, nanti keburu pagi.”
Faiq tersenyum.
Niyala menatapnya dengan penuh cinta.
Di luar kamar purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh genting dan pepohonan. Angin mengalir sepoi-sepoi. Langit cerah. Hawa sejuk perlahan mengirim embun pada rerumputan. Bintang-bintang bertaburan. Sepasang kunang-kunang menari-nari di angkasa. Di iringi tasbih alam, keduanya tampak begitu indah memadu cinta.
TAMAT

0 komentar:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com